Selasa, 08 Juli 2014

Goosebumps - Pembalasan di Malam Haloowen

R.L. Stine
Pembalasan Di Malam Halloween

Chapter 1    

"MAU ke mana, Kurcaci?" Dad berseru dari ruang baca.
"Jangan panggil aku Kurcaci!" sahutku. "Namaku Drew!"
Aku benci julukan yang diberikan Dad padaku. Ia memanggilku begitu karena aku termasuk kecil untuk anak berumur dua belas tahun.  Juga karena ia menganggap tampangku mirip makhluk dongeng itu.
Coba, seandainya tampang kalian mirip kurcaci, apa kalian senang dijuluki begitu?
Tentu saja tidak, kan?
Suatu hari sahabat karibku, Walker Parkes, mendengar Dad memanggilku Kurcaci. Lalu Walker sok ikut-ikutan. "Hei, Kurcaci!" panggilnya.
Aku langsung menginjak kaki Walker dengan sekuat tenaga, dan sejak itu ia tak pernah lagi memanggilku begitu.
"Mau ke mana, Drew?" Dad berseru lagi dari ruang baca.
"Keluar!" jawabku, lalu membanting pintu depan. Aku suka membuat orangtuaku bertanya-tanya. Aku selalu berusaha memberi jawaban samar-samar.
Dalam hal ini aku memang iseng seperti kurcaci. Tapi awas kalau kau memanggilku begitu. Nanti kakimu kuinjak sekalian, lho!
Aku terkenal jagoan. Boleh tanya siapa saja. Mereka pasti akan bilang bahwa Drew Brockman memang jagoan. Sebagai cewek paling kecil di kelas, aku memang harus bersikap begitu supaya tidak dianggap remeh.
Sebenarnya sih, aku tidak pergi ke mana-mana. Aku sedang menunggu teman-temanku yang mau main ke rumah. Aku cuma ke trotoar untuk melihat apakah mereka sudah muncul.
Aku menarik napas dalam-dalam. Aku melihat asap putih keluar dari cerobong asap di atap rumah di ujung jalan. Bau kayu perapian. Baunya begitu harum dan manis.
Aku paling suka musim gugur. Musim gugur berarti perayaan Halloween akan segera tiba.
Halloween adalah hari raya kesukaanku. Sebab pada malam itu kita punya kesempatan untuk tampil lain dari biasanya.
Hanya pada malam Halloween saja aku tidak perlu jadi kurcaci.
Tapi Halloween bukannya tanpa masalah. Malah ada dua masalah yang mengusikku, yaitu Tabitha Weiss dan Lee Winston, dua teman sekelasku.
Sudah dua tahun berturut-turut Tabby dan Lee merusak suasana Halloween-ku dan Walker
Aku kesal sekali. Begitu juga Walker. Hari raya kesukaan kami jadi tidak berkesan gara-gara dua anak sombong. Mereka pikir mereka boleh berbuat seenaknya.
Huh!
Kalau teringat kejadian itu, aku jadi ingin memukul seseorang.
Teman-temanku yang lain, Shane dan Shana Martin, juga sebal. Mereka cowok dan cewek kembar, dan sebaya denganku. Mereka tinggal di rumah sebelah, kami sering bermain bersama.
Penampilan Shane dan Shana berbeda dari anak-anak lain yang kukenal. Mereka sama-sama bermuka bulat, dan berambut pirang ikal. Mereka sama-sama berpipi merah, punya senyum ceria, juga sama-sama bertubuh pendek dan agak gendut.
Dad menjuluki mereka si kembar pet-bun, alias pendek-buntek.
Dad selalu punya ejekan untuk siapa pun!
Tapi yang jelas, si kembar juga kesal pada Tabby dan Lee, sama seperti Walker dan aku. Dan pada Halloween kali ini, kami berniat membuat perhitungan dengan mereka.
Barangkali kalian ingin tahu, apa sebetulnya persoalan kami dengan Tabby dan Lee.
Hmm, untuk itu aku akan menjelaskan kejadian dua tahun yang lalu itu. Kejadiannya masih kuingat dengan jelas.
Saat itu Walker dan aku berumur sepuluh tahun. Kami sedang bermain di halaman depan rumahku. Sepeda Walker tergeletak di rumput, dan ia sedang asyik mengotak-atik ruji-ruji rodanya.
Waktu itu musim gugur, dan cuacanya nyaman sekali. Seseorang sedang membakar setumpuk daun kering di ujung jalan.
Sebenarnya dilarang membakar daun kering di Riverdale. Dan Dad selalu mengancam akan memanggil polisi kalau ada yang melanggar larangan itu. Tapi aku suka baunya.
Aku mengamati Walker mengotak-atik sepeda. Aku lupa apa yang kami bicarakan waktu itu. Kemudian aku menoleh—dan tahu-tahu Tabby dan Lee sudah berdiri di depanku.
Tabby berpenampilan sempurna, seperti biasa. "Putri yang Sempurna." Itu julukan yang diberikan Dad padanya—dan kali ini, julukannya tepat.
Angin bertiup cukup kencang. Tapi rambut Tabby yang pirang dan panjang tetap rapi, tidak berkibar-kibar seperti rambutku.
Tabby punya kulit putih mulus dan mata hijau yang bersinar-sinar. Ia cantik sekali, dan ia sadar benar akan hal itu.
Kadang-kadang aku harus menahan diri untuk tidak mengacak-acak rambutnya!
Lee jangkung dan bertampang keren. Matanya cokelat tua, dan senyumnya sangat menawan. Ia berkulit hitam, karena ia memang keturunan Afrika. Gayanya persis para penyanyi rap yang sering tampil di video klip MTV.
Semua cewek di sekolah terpesona padanya. Tapi aku tak pernah mengerti sepatah kata pun yang ia ucapkan. Soalnya, Lee selalu sibuk mengunyah permen karet berwarna hijau apel.
"Mmmmmmmmbbb mmmmmmmmbbb." Lee mengamati sepeda Walker dan bergumam tak jelas.
"Hei," aku menyapa mereka. "Apa kabar?"
Tabby tiba-tiba meringis dan menunjuk wajahku. "Ya ampun, Drew, ada yang menggelantung dari hidungmu," katanya.
"Oh...!" Aku langsung bereaksi dengan menggosok-gosok hidung. Ternyata tidak ada apa-apa.
"Sori," ujar Tabby sambil nyengir. "Rupanya aku salah lihat."
Ia dan Lee tertawa.
Tabby selalu bersikap iseng padaku. Ia tahu aku gampang salah tingkah. Dan karena itu aku jadi sasaran empuk ulah jailnya.
"Sepedamu bagus," gumam Lee pada Walker. "Giginya berapa?"
"Dua belas," jawab Walker.
Lee tersenyum mengejek. "Sepedaku giginya empat puluh dua!"
"Hah?" Walker berdiri. "Mana ada sepeda seperti itu!" ia memprotes.
"Ada," Lee berkeras, masih sambil cengar-cengir. "Sepedaku dibikin khusus untukku."
Ia membuat balon besar dengan permen karetnya. Dan itu tidak mudah kalau sambil tersenyum mengejek.
Rasanya aku ingin meletuskan balon itu. Tapi Lee keburu mundur dan meletuskannya sendiri.
"Kau habis potong rambut?" tanya Tabby sambil mengamati rambutku yang tertiup angin.
"Tidak," sahutku.
"Oh, pantas," ujarnya sambil mengusap rambutnya yang rapi dengan sebelah tangan.
"Grrrr!" Aku tidak tahan. Aku mengepalkan tangan dan menggeram dengan kesal.
Aku sering menggeram seperti itu. Kadang-kadang bahkan tanpa sadar.
"Mummmmmmb mmmmmmbb." Lee mengatakan sesuatu.
Aku melihat air liur menetes di dagunya.
"Apa?" tanyaku.
"Aku bikin pesta Halloween," ia mengulangi.
Jantungku mulai berdegup-degup.
"Pesta Halloween sungguhan?" aku kembali bertanya. "Yang datang pakai kostum semua? Terus ada jus apel, permainan, dan cerita-cerita seram?"
Lee mengangguk. "Ya. Pesta Halloween sungguhan. Tepat pada malam Halloween, di rumahku. Kalian mau datang?"
"Pasti!" Walker dan aku menyahut berbarengan. Kami tidak sadar bahwa kami telah melakukan kesalahan. Kesalahan besar.
         
    
    
    
    
    
    

Chapter 2     

PESTA Halloween di rumah Lee sudah ramai ketika Walker dan aku datang. Orangtua Lee telah memasang pita hiasan berwarna jingga dan hitam di ruang tamu. Tiga buah jack-o'-lantern—lentera yang dibuat dari labu besar, yang diukir berbentuk wajah menyeramkan—di ambang jendela depan menatap kami sambil nyengir.
Orang pertama yang kujumpai tentu saja Tabby. Biarpun memakai kostum, ia langsung bisa kukenali. Habis, ia berkostum putri kerajaan.
Tabby mengenakan gaun berwarna pink dengan lengan panjang dan kerah renda yang tinggi. Rambutnya yang pirang disisir ke atas, dan dihiasi mahkota berkilauan.
Ia menyambutku sambil tersenyum dengan bibirnya yang dipoles lipstik.
"Eh, Drew, ya?" ia bertanya sambil berlagak tidak mengenaliku. "Kau jadi apa, sih? Tikus, ya?"
"Bukan!" semburku. "Aku bukan tikus. Aku orang Klingon. Kau tidak pernah nonton Star Trek di TV, ya?"
Tabby terkekeh-kekeh. "Kau yakin kau bukan tikus?"
Lalu ia berbalik dan meninggalkanku sambil tersenyum-senyum. Tampaknya ia senang sekali telah berhasil mengejekku.
Aku menggeram tertahan, lalu memandang berkeliling untuk mencari teman mengobrol. Aku melihat Shane dan Shana di depan perapian. Mereka mudah dikenali. Mereka sama-sama berkostum orang-orangan salju.
"Kostum kalian bagus sekali!" kataku kepada mereka.
Mereka memakai dua bola salju berwarna putih. Satu bola salju besar untuk menutupi badan, dan satu lagi yang lebih kecil untuk menutupi kepala.
Bola salju yang lebih kecil diberi lubang untuk mata. Tapi aku tidak tahu yang mana Shane, dan yang mana Shana.
"Bola saljunya terbuat dari apa?" tanyaku.
" Styrofoam," jawab Shana. Suaranya kecil melengking, dan aku langsung mengenalinya. "Kami menghabiskan dua blok besar styrofoam untuk kostum ini."
"Wow, keren," ujarku.
"Pestanya ramai, ya?" kata Shane. "Semua teman sekelas kita datang. Sudah lihat kostum Bryna Morse? Dia menyemprot seluruh badannya dengan cat semprot warna perak. Muka dan rambutnya juga!"
"Jadi apa dia?" aku bertanya sambil memandang berkeliling untuk mencarinya. "Silver surfer?"
"Bukan. Menurutku dia jadi Patung Liberty," sahut Shane.
"Soalnya, dia bawa obor dari plastik."
Suara berderak dari perapian membuatku tersentak kaget.
Sebagian besar lampu dipadamkan, sehingga suasananya jadi remang-remang, cocok sekali untuk pesta Halloween. Api di tempat perapian menghasilkan bayangan-bayangan yang menari-nari di lantai.
Aku membalik dan melihat Walker menghampiri kami. Seluruh tubuhnya terbungkus perban dan kain kasa. Kelihatannya ia jadi mumi.
"Aku ada masalah," katanya.
"Masalah apa?" tanya Shane.
"Ibuku kurang rapi sewaktu membungkusku tadi," Walker menggerutu. "Perbannya sudah mulai terlepas."
Ia berusaha mengencangkan perban yang tampak mengendur di sekeliling lehernya.
"Aaaagh!" ia berseru kesal. "Semuanya sudah mau copot."
"Tapi kau pakai baju, kan?" tanya Shana.
Shane dan aku tertawa. Aku membayangkan Walker berdiri di tengah pesta cuma dengan pakaian dalam, sementara di kakinya bergulung-gulung tumpukan perban.
"Ya, tentu saja pakai baju," jawab Walker. "Tapi kalau perban ini copot semua, aku bakal terpelanting."
"Hei—ada apa?" Lee menyela percakapan kami. Ia memakai kostum Batman, tapi aku mengenali matanya yang gelap di balik topeng. Dan aku juga mengenali suaranya.
"Pestanya ramai ya," ujar Shana.
"Yeah, memang," aku mengulangi.
Lee hendak menyahut. Tapi bunyi gubrak yang sangat, keras membuat semua anak memekik kaget. Semua berdiri seperti patung.
"Apa itu?" seru Lee.
Suasana jadi hening.
Bunyi itu terdengar lagi. Disusul bunyi benturan. Dan suara orang berbisik-bisik.
"K-kedengarannya dari ruang bawah tanah!" kata Lee tergagap-gagap. Ia melepaskan topeng Batman. Aku segera melihat ekspresi ngeri yang tercermin di wajahnya. Kami semua menoleh ke pintu terbuka di ujung ruang tamu.
Aku bisa melihat tangga yang menuju ke ruang bawah tanah.
"Oh...!" Lee berseru tertahan ketika bunyi benturan kembali terdengar.
Lalu menyusul suara langkah berat—menaiki tangga.
"Ada orang masuk!" Lee menjerit ketakutan. "Ada perampok! Perampok!"
    
    
    




Chapter 3     

"MOM! Dad!" teriak Lee. Suaranya terdengar melengking di ruang tamu yang mendadak sunyi. Semua anak seakan-akan terpaku di tempat.
Aku merinding ketika mendengar suara langkah yang menaiki tangga itu.
"Mom! Dad! Tolong!" Lee kembali berteriak sambil membelalakkan mata karena ngeri.
Tak ada jawaban.
Ia berlari ke arah kamar orangtuanya di bagian belakang rumah.
"Mom? Dad?"
Aku hendak mengikutinya. Tapi beberapa detik kemudian ia sudah kembali ke ruang tamu. Seluruh tubuhnya gemetaran.
"Orangtuaku—mereka hilang!"
"Panggil polisi!"
"Ya! Telepon sembilan-satu-satu!" teriak Walker.
Lee bergegas ke pesawat telepon di samping sofa. Kakinya menyenggol kaleng Pepsi yang ditaruh di karpet. Tapi ia tidak menghiraukannya.
Ia menyambar gagang telepon dan langsung menempelkannya ke telinga. Aku memperhatikannya menekan nomor untuk keadaan darurat. Tapi kemudian ia berpaling ke arah kami, dan membiarkan gagang telepon terlepas dari tangannya. "Teleponnya mati!"
Beberapa anak memekik tertahan.
Aku berpaling ke arah Walker dan membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi sebelum aku sempat bicara, dua sosok besar muncul dari pintu ruang bawah tanah.
"Ahhhh!" Lee meraung ketakutan. Tabby mundur selangkah dan setengah bersembunyi di belakang Lee. Matanya yang bermake-up tebal terbelalak karena ngeri.
Kedua sosok tak dikenal itu cepat-cepat melintasi ruang tamu dan menghalangi pintu keluar. Salah satu memakai topi rajut biru yang ditarik sampai menutupi wajah, sedang rekannya memakai topeng gorila yang terbuat dari karet.
Keduanya memakai jaket kulit hitam dan celana jeans hitam.
"Waktunya berpesta!" si gorila berseru dengan suara parau. Ia tertawa. Tawanya terdengar kejam. "Ayo, mari berpesta semuanya!"
Beberapa anak memekik ketakutan. Jantungku mulai berdegup-degup. Tiba-tiba saja aku jadi panas-dingin.
"Siapa kalian?" tanya Lee di tengah hiruk-piruk. "Bagaimana kalian bisa masuk? Di mana orangtuaku?"
"Orangtua?" balas orang yang memakai topi rajut. Matanya biru cerah, hampir sama birunya dengan topi yang menyelubungi  wajahnya. "Memangnya kau punya orangtua?"
Keduanya tertawa.
"Di mana mereka?" seru Lee.
"Mungkin mereka kabur sewaktu melihat kami datang!" jawab si topi rajut.
Lee menelan ludah.
Tabby maju sedikit. "Kalian tidak boleh seenaknya masuk ke sini!" ia menghardik kedua orang tak dikenal itu. "Kami sedang berpesta!"
Si gorila berpaling kepada temannya dan tertawa. Keduanya tertawa terpingkal-pingkal sambil menengadah.
"Sekarang giliran kami yang pesta!" seru si gorila. "Pesta ini kami ambil alih!"
Di sekeliling ruangan terdengar bisik-bisik. Kakiku mendadak lemas. Aku terpaksa berpegangan pada pundak Walker agar jangan sampai ambruk.
"M-mau apa kalian?" tanya Tabby tergagap-gagap.
        

    
    
    
    
    
    
Chapter 4    

"AYO, semuanya tiarap di lantai!" si topi rajut memerintahkan.
"Kalian tidak boleh berbuat begini!" teriak Tabby.
"Kami masih anak-anak!" seseorang berseru. "Kalian mau merampok kami? Kami tidak punya uang!"
Aku melihat Shane dan Shana berdiri di depan perapian. Wajah mereka tersembunyi di balik kostum orang-orangan salju. Tapi aku tahu mereka juga ketakutan.
"Tiarap!" kedua orang tak dikenal itu menghardik. Suasana jadi ramai ketika kami semua tiarap di lantai.
"Kalian juga!" si gorila membentak Shane dan Shana.
"Tapi mana mungkin!" seru Shana. "Kami tidak bisa tiarap dengan bola-bola salju ini!"
"Jangan banyak omong!" bentak si gorila.
"Cepat tiarap—atau kami akan memaksa kalian," si topi rajut mengancam.
Aku memperhatikan Shane dan Shana menuruti perintah itu.
Mereka terpaksa membuka bola salju sebelah bawah agar bisa berlutut. Bola salju Shana terbelah dua ketika ia berusaha melepaskannya.
"Oke, sekarang push-up semuanya!" perintah si gorila.
"Hah?" Di sekelilingku terdengar seruan-seruan bingung.
"Push-up!" si gorila mengulangi. "Kalian tahu bagaimana caranya, bukan?"
"B-berapa kali?" tanya Walker. Ia berlutut di sampingku, di depan meja.
"Cukup dua jam saja," sahut si topi rajut.
"Hah? Dua jam?" beberapa anak memekik.
"Dan itu baru pemanasan," kata si gorila. "Setelah itu kami akan memikirkan sesuatu yang lebih berat untuk kalian!"
"Yeah. Jauh lebih berat!" rekannya menambahkan. Lalu keduanya kembali terbahak-bahak.
"Kalian tidak boleh menyuruh kami seenaknya!" aku menjerit.
Suaraku terdengar kecil melengking, persis seperti cicit tikus.
Anak-anak lain juga memprotes. Aku berpaling ke pintu. Si topi rajut telah bergerak ke tengah ruangan. Tapi si gorila masih menghalangi jalan keluar.
"Ayo, mulai!" si gorila memerintahkan.
"Atau kalian harus push-up selama tiga jam!" kawannya menimpali.
Banyak anak yang mengomel dan menggerutu. Tapi tak ada yang berani membantah. Semuanya tiarap di lantai dan mulai melakukan push-up.
Habis, apa lagi yang bisa kami lakukan?
"Kita tidak mungkin push-up selama dua jam!" Walker memprotes sambil terengah-engah. "Kita bakal pingsan!"
Badannya bergerak naik-turun, naik-turun. Semakin lama kostum mumi-nya semakin berantakan.
"Lebih cepat!" si gorila berseru. "Ayo, lebih cepat!"
Aku baru melakukan empat atau lima gerakan push-up, tapi lenganku sudah mulai pegal. Aku memang jarang berolahraga, kecuali naik sepeda dan berenang di musim panas.
Mana aku sanggup push-up lebih dari sepuluh sampai lima belas menit?
Aku menegakkan kepala dan memandang ke depan—dan melihat sesuatu yang membuatku memekik kaget.
    
    





Chapter 5

"WALKER—lihat, tuh!" aku berbisik.
"Apa, sih?" Walker menggerung.
Aku menyikut tulang rusuknya.
Ia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai. "Aduh! Hei, Drew—apa-apaan sih kau?"
Kami sama-sama menoleh ke arah pintu.
Dan apa yang kami lihat benar-benar mengagetkan. Ternyata Tabby dan Lee tidak tiarap di lantai seperti anak-anak lain. Mereka berdiri di depan pintu bersama kedua orang tak dikenal itu. Dan keduanya sedang nyengir lebar.
Aku berhenti push-up, dan menegakkan badan sambil tetap berlutut. Aku melihat Lee mulai tertawa. Tabby juga ikut tertawa. Saking kerasnya, mahkota di kepalanya sampai terguncang-guncang. Mereka berhigh-five!
Anak-anak di sekelilingku masih sibuk mendorong badan mereka naik, lalu turun lagi, naik, lalu turun lagi. Mereka sibuk push-up sambil mengerang-erang dan menggerung-gerung.
Tapi Walker dan aku telah berhenti. Kami sama-sama berlutut dan memperhatikan Tabby dan Lee. Kedua anak brengsek itu sedang tertawa-tawa, menikmati keberhasilan mereka.
Aku hendak berseru marah, ketika kedua orang tak dikenal itu melepaskan topeng masing-masing.
Aku segera mengenali orang yang memakai topeng gorila. Ia Todd Jeffrey, anak SMU yang tinggal di sebelah rumah Lee.
Orang yang memakai topi rajut juga kukenal. Namanya Joe. Entah apa nama belakangnya. Ia teman Todd.
Todd mengusap rambut yang menutupi keningnya. Rambutnya basah, wajahnya merah, dan ia bermandikan keringat. Rupanya ia kepanasan gara-gara topeng karet itu.
Joe membuang topi rajutnya ke lantai. Ia menggelengkan kepala sambil menertawakan kami semua. "Hei, ini cuma main-main!" serunya. "Happy Halloween!"
Anak-anak segera berhenti push-up. Tapi tak ada yang bangkit dari lantai. Rupanya kami semua terlalu kaget hingga tak sanggup untuk berdiri.
"Cuma permainan pesta!" Lee menimpali sambil nyengir.
"Kenapa sih? Kalian pada ngeri, ya?" tanya Tabby dengan lagak tak berdosa.
"Grrrrr!" Aku menggeram lebih keras dari biasanya. Rasanya aku ingin berdiri, merebut mahkota di kepala Tabby, dan melilitkannya ke leher cewek brengsek itu!
Todd dan Joe berhigh-five. Masing-masing meraih sekaleng Pepsi dan langsung mereguk isinya.
"Kalian sudah boleh berdiri sekarang!" Lee mengumumkan sambil terkekeh-kekeh.
"Wow! Kalian sampai pucat semua!" seru Tabby puas. "Tipuan kami benar-benar berhasil!"
"Dasar brengsek," Walker bergumam sambil geleng-geleng kepala. Kain kasa yang semula menutupi kepalanya sudah copot semua. Lilitan perban menggelantung dari pundaknya. "Brengsek. Benar-benar keterlaluan."
Aku bangkit dengan susah payah dan membantu Walker berdiri. Aku mendengar Shane dan Shana mengomel di belakang kami. Kostum mereka sudah rusak total. Anak-anak lain juga mengomel dan menggerutu.
Hanya Tabby dan Lee yang tertawa. Selain mereka, tak ada yang menganggap kejadian itu lucu.
Sebenarnya aku hendak menghampiri kedua anak brengsek itu untuk mendamprat mereka. Tapi orangtua Lee keburu datang.
"Kami baru saja berkunjung ke rumah keluarga Jeffrey di sebelah," ibu Lee mengumumkan. Kemudian ia melihat Todd. "Oh, halo, Todd. Kami baru saja dari rumahmu, mengunjungi orangtuamu. Sedang apa kau di sini? Membantu Lee mengurus pesta?"
"Begitulah," sahut Todd sambil cengar-cengir.
"Bagaimana pestanya?" ayah Lee bertanya. "Ramai," jawab Lee. "Ramai sekaliii."

***    
    
Begitulah Tabby dan Lee mengacaukan perayaan Halloween dua tahun lalu.
Aku dan Walker—Shane dan Shana juga—benar-benar kesal.
Bukan. Kami bukan cuma kesal. Kami benar-benar marah.
Halloween adalah perayaan kesukaan kami. Dan kami keberatan kalau ada yang mengacaukannya dengan lelucon konyol seperti itu.
Jadi, tahun lalu kami memutuskan untuk membuat perhitungan.
    
    
    
    

    
    
    
Chapter 6

"KITA perlu dekor istimewa," ujar Shana. "Jangan hanya labu dan kerangka tulang. Itu sudah biasa."
"Yeah, kita perlu sesuatu yang lebih menyeramkan," usul Shane.
"Kurasa Jack-o'-lantern cukup menakutkan," aku berkeras.  "Terutama kalau kita pasang lilin di dalamnya. Tampangnya yang gelap kan jadi menyala-nyala, dan senyumnya tampak bengis."
"Ah, Jack-o'-lantern terlalu kekanak-kanakan," Walker membantah. "Mana ada yang takut pada Jack-o'-lantern. Shana benar. Kita butuh sesuatu yang lebih menyeramkan untuk menakut-nakuti Tabby dan Lee."
Waktu itu seminggu sebelum Halloween. Kami berempat sedang bekerja keras di rumahku. Kami sedang mempersiapkan pesta Halloweenku.
Ya. Tahun lalu aku mengadakan pesta Halloween. Kenapa aku memutuskan untuk membuat pesta?
Alasannya cuma satu.  Untuk membalas dendam.
Untuk membalas dendam pada Tabby dan Lee.
Walker, Shane, Shana, dan aku telah menghabiskan satu tahun untuk berunding dan menyusun rencana. Kami hendak membuat kejutan paling mengerikan bagi mereka.
Kami tidak ingin membuat lelucon kejam seperti orang yang berlagak jadi perampok.
Itu terlalu kejam. Dan terlalu menakutkan.
Sampai sekarang masih ada beberapa temanku yang bermimpi buruk tentang orang-orang dengan topi rajut dan topeng gorila.
Kami berempat tidak bermaksud menakut-nakuti semua tamu. Kami cuma ingin mempermalukan Tabby dan Lee—dan membuat mereka ngeri setengah mati.
Dan sekarang, seminggu sebelum malam yang ditunggu-tunggu, kami berempat sedang berkumpul di ruang duduk di rumahku sehabis makan malam. Seharusnya kami mengerjakan PR. Tapi Halloween sudah di ambang pintu.  Kami tidak punya waktu untuk memikirkan PR. Seluruh waktu kami habis tersita untuk menyusun rencana.
Shane dan Shana ternyata punya banyak ide menyeramkan. Padahal tampang mereka begitu manis dan lugu. Tapi itu cuma kesan dari luar saja. Kalau kita sudah mengenal mereka, kita akan tahu bahwa mereka sebenarnya sangat jail.
Walker dan aku cenderung memilih ide yang sederhana. Makin sederhana, makin menyeramkan. Begitulah jalan pikiran kami berdua.
Aku hendak menjatuhkan sarang labah-labah tiruan dari atas tangga, untuk menjerat Tabby dan Lee. Aku tahu toko yang menjual sarang labah-labah tiruan yang sangat lengket.
Walker punya labah-labah tarantula yang dipeliharanya di dalam kandang kaca di rumahnya. Itu tarantula sungguhan. Ia  mengusulkan untuk menempelkan tarantula itu ke sarang labah-labah, lalu menjatuhkannya ke rambut Tabby.
Asyik juga idenya.
Walker juga ingin membuat pintu kolong di lantai ruang duduk.
Begitu Tabby dan Lee menginjak pintu kolong itu, kami akan membukanya dan mereka akan terperosok ke ruang bawah tanah.
Sebenarnya sih aku suka ide itu. Tapi dengan berat hati aku terpaksa menolaknya. Aku tidak yakin Mom dan Dad akan mengizinkan kami menggergaji lantai ruang duduk.
Lagi pula, aku cuma ingin menakut-nakuti kedua anak brengsek itu. Aku tidak ingin mereka sampai patah leher.
"Genangan darah palsunya mau kita taruh di mana?" tanya Shane.
Ia memegang genangan darah plastik berwarna merah di kedua tangan. Bersama Shana, ia telah membeli selusin genangan seperti itu di sebuah toko kostum. Ukurannya berbeda-beda, dan darahnya persis seperti darah sungguhan.
"Dan jangan lupa lendir hijau ini," Shana mengingatkan kami. Di sampingnya ada tiga kantong plastik berisi lendir hijau.
Walker dan aku membuka satu kantong, lalu meraba-raba lendir kenyal dan lengket di dalamnya.
"Di mana kalian beli lendir ini?" tanyaku. "Di toko yang sama?"
"Bukan. Ini keluar dari hidung Shana!" Shane berkelakar.
Shana langsung memprotes dan meraih salah satu kantong plastik. Ia mengayun-ayunkan kantong plastik itu, seakan-akan hendak memukul saudara kembarnya.
Shane tertawa dan langsung melompat dari sofa.
"Hei! Hati-hati!" aku berseru. "Kalau kantong itu sampai pecah..."
"Lendirnya mungkin bisa kita tempel ke langit-langit," Walker mengusulkan.
"Yeah! Ide bagus!" ujar Shane. "Biar Tabby dan Lee terkena tetesan dari atas."
"Bagaimana kalau kita oleskan sekalian ke tubuh mereka!"
Walker menambahkan dengan penuh semangat. "Biar mereka jadi monster lendir hijau!"
"Blub blub blub!" Shana mengayun-ayunkan tangan sambil berlagak tenggelam dalam genangan lendir.
"Memangnya lendir ini bisa menempel di langit-langit?" aku bertanya. "Bagaimana caranya supaya lendirnya menempel cukup lama di atas? Dan bagaimana cara kita menggiring mereka supaya berdiri persis di bawahnya?"
Akulah yang selalu memikirkan urusan pelaksanaan. Kawan-kawanku memang punya banyak ide gila. Tapi mereka tak pernah tahu cara melaksanakannya. Itu sudah jadi tugasku.
"Mana aku tahu," jawab Walker. Ia bangkit dari kursinya. "Aku mau ambil minum dulu."
"Bagaimana kalau lendirnya tersembur dari Jack-o'-lantern?"
Shane mengusulkan. "Cukup seram, kan?"
"Bagaimana kalau ada darah palsu yang tersembur dari Jack-o'-lantern?" ujar Shana. "Itu lebih seram lagi."
"Kita harus bisa menjebak Tabby dan Lee," kata Shane sambil berpikir keras. "Lendir, sarang labah-labah, dan darah palsu ini gri ebumemang seru. Tapi kita harus bisa membuat mereka menyangka diri mereka benar-benar terancam bahaya. Kita harus bisa membuat mereka percaya bahwa mereka akan mengalami sesuatu yang benar-benar mengerikan."
Aku baru saja hendak menyetujui pendapat Shane ketika lampu-lampu mendadak padam.
"Oh...!" aku berseru kaget. Mataku berkedip-kedip dalam gelap.
"Ada apa ini?" Shane dan Shana tidak menyahut.
Tirai jendela sudah ditutup semua, sehingga cahaya dari luar tidak bisa masuk. Saking gelapnya, aku tidak bisa melihat kedua temanku yang duduk persis di depanku!
Dan kemudian aku mendengar suara parau berbisik-bisik, dekat sekali di telingaku: "Kalian harus ikut aku. Kalian harus pulang bersamaku sekarang. Pulanglah ke tempat asal kalian. Pulanglah—ke kuburan."     






Chapter 7
    
BISIKAN yang terdengar dalam gelap itu membuatku merinding.
"Kalian harus ikut aku. Kalian harus pulang bersamaku sekarang. Pulanglah ke tempat asal kalian. Pulanglah ke kuburan, Tabby dan Lee. Aku datang untuk menjemput kalian. Ayo, Tabby dan Lee. Kalian harus ikut aku sekarang."
"Bagus! Bagus sekali!" aku berseru.
Lampu-lampu kembali menyala. Shane dan Shana bertepuk tangan sambil bersorak-sorai.
"Bagus, Walker!" Aku berpaling untuk memberi selamat padanya.
Ia meletakkan tape player-nya di atas meja tamu dan menggulung kasetnya. "Kurasa ini cukup untuk menakut-nakuti mereka," ujarnya.
"Aku saja sempat merinding!" kataku. "Padahal aku sudah tahu itu ulahmu."
"Saat lampu padam dan suara itu mulai berbisik-bisik, semua anak bakal menjerit ketakutan!" seru Shana. "Terutama kalau tape-nya ditaruh di bawah sofa."
"Siapa yang merekam suara itu?" Shane bertanya pada Walker.
"Kau?"
Walker mengangguk.
"Hebat," Shane memuji. Ia berpaling padaku. "Tapi, Drew, Shana dan aku juga harus dapat bagian untuk mengerjai Tabby dan Lee."
"Berbagai rencana kalian lebih baik disimpan sebagai cadangan, siapa tahu kita memerlukannya," sahutku.
Aku membungkuk dan membuka salah satu kantong plastik. Aku memasukkan tangan ke dalam kantong dan mengeluarkan segumpal lendir hijau. Lendir itu terasa dingin dan lengket.
Aku meremas-remasnya, lalu membentuknya menjadi bola.
"Apakah lendir ini cukup lengket untuk ditempel di langit-langit?" tanyaku. "Mungkin bagus juga kalau lendirnya bisa mengalir di dinding. Mungkin..."
"Tunggu. Aku punya ide yang lebih bagus," Walker memotong. "Lampunya padam—ya, kan? Lalu suara seram itu mulai berbisik-bisik. Dan tepat ketika suara itu membisikkan nama-nama mereka—'Pulanglah ke kuburan, Tabby dan Lee'—ada orang yang menghampiri mereka dari belakang dan menaruh gumpalan lendir di kepala mereka."
"Yeah, benar!" seru Shane. Kami semua tertawa dan bersorak-sorai.
Kami telah berhasil mengumpulkan ide-ide bagus. Tapi kami membutuhkan ide lebih banyak lagi. Aku tidak mau membuat kesalahan. Tabby dan Lee tidak boleh tahu bahwa semuanya cuma lelucon.
Aku ingin mereka NGERI—benar-benar N-G-E-R-I.
Karena itu kami terus mencari ide-ide mengerikan. Kami membanting tulang sepanjang minggu. Mulai dari pulang sekolah sampai larut malam. Kami membuat jebakan-jebakan.
Menyembunyikan kejutan-kejutan seram di seluruh ruang duduk. Kami membuat Jack-o'-lantern paling mengerikan yang pernah ada. Dan semuanya kami isi dengan kecoak-kecoak plastik yang sangat mirip kecoak sungguhan.
Kami membuat monster setinggi hampir dua setengah meter dari bubur kertas. Kami memasangnya sedemikian rupa sehingga akan jatuh dari lemari mantel kalau kami menarik seutas tali.
Kami membeli berbagai mainan karet berbentuk ular, cacing, dan labah-labah, dan menyembunyikan semuanya di berbagai tempat di dalam rumah.
Kami tidak bisa makan maupun tidur. Kami memaksakan diri untuk mengikuti pelajaran di sekolah, tapi otak kami sibuk memikirkan cara-cara baru untuk menakut-nakuti kedua tamu istimewa kami.
Akhirnya Halloween tiba.
Kami berempat berkumpul di rumahku. Kami terlalu tegang untuk berdiri diam, apalagi duduk.
Kami berjalan mondar-mandir, dan nyaris tidak bicara satu sama lain. Dengan gelisah kami memeriksa semua jebakan dan siasat yang telah kami siapkan.
Seumur hidup aku belum pernah bekerja sekeras ini. Betul lho!
Aku menghabiskan begitu banyak waktu untuk mempersiapkan pesta—dan rencana balas dendam kami—sehingga aku tidak sempat memikirkan kostumku.
Akhirnya aku terpaksa memakai kostum Klingon yang telah kukenakan tahun lalu.
Walker menyamar sebagai bajak laut. Ia menutup sebelah mata dengan sepotong kain, dan memakai baju bergaris-garis dengan burung nuri di pundaknya.
Shane dan Shana memakai kostum makhluk bergumpal-gumpal. Aku tidak tahu makhluk apa mereka sebenarnya.
Tapi kami tidak peduli soal kostum. Yang kami pikirkan hanyalah bahwa kami harus bisa menakut-nakuti Tabby dan Lee.
Kemudian, ketika kami mondar-mandir dengan gelisah di ruang duduk, satu jam sebelum pesta dimulai, pesawat telepon berdering.
Dan kami menerima telepon yang membuat kami semua terperangah.

    
    
    
    
    
    
    
Chapter 8     
    
AKU berdiri persis di samping pesawat telepon ketika telepon itu berdering. Suara mendadak itu membuatku tersentak kaget.
Apakah aku agak tegang?
YA!
Aku langsung menyambar gagang telepon. "Halo?"
Kemudian aku mendengar suara yang akrab di telingaku. "Hai, Drew. Ini Tabby."
"Tabby!" seruku. Aku menyangka ia hendak menanyakan jam berapa pestanya dimulai. "Pestanya dimulai jam delapan," ujarku.
"Tapi kalau kau dan Lee..."
"Justru karena itu aku meneleponmu," Tabby memotong. "Lee dan aku tidak bisa datang nanti malam."
"Hah?"
Gagang telepon itu sampai terlepas dari tanganku dan jatuh ke lantai.
Aku segera membungkuk untuk memungutnya. Tapi karena terburu-buru, aku hampir membuat mejanya terbalik.
"Apa? Apa katamu?" aku bertanya cepat-cepat, takut salah dengar.
"Lee dan aku tidak bisa datang," Tabby mengulangi. "Kami mau ke rumah saudara sepupu Lee. Sepupunya boleh keliling sampai tengah malam untuk mengumpulkan permen. Dia akan mendatangi empat daerah berbeda, dan dia bilang kami bakal dapat berkantong-kantong permen. Sori."
"Tapi, Tabby..." aku mencoba memprotes.
"Sori," katanya. "Sampai ketemu, ya. Bye."
Ia menutup telepon.
Aku meraung dengan suara parau, lalu jatuh berlutut di lantai.
"Ada apa, sih?" tanya Walker.
"Mereka—mereka—mereka..." Aku tidak sanggup menyampaikan kabar buruk itu.  Teman-temanku berkerumun di sekelilingku. Walker berusaha membantuku berdiri. Tapi kepalaku serasa berputar-putar. Aku tidak ingin bangkit dari lantai.
"Mereka tidak jadi datang!" aku akhirnya mampu berkata. Suaraku parau. "Mereka tidak jadi datang."
"Oh," Walker mengeluh dengan lesu. Shane dan Shana menggeleng-gelengkan kepala, tapi tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Kami semua terpaku di tempat. Kami benar-benar patah semangat. Segala kerja keras kami ternyata percuma.
Satu tahun kerja keras ternyata sia-sia.
Aku tidak akan menangis, kataku pada diriku sendiri. Rasanya aku ingin menangis, tapi aku menahannya.
Aku bangkit dengan tubuh gemetaran. Dan menoleh ke arah sofa.
"Astaga, apa itu?" aku memekik.
Semua menoleh, dan mengikuti pandanganku. Sebuah lubang besar tampak di salah satu sofa yang terbuat dari kulit cokelat.
"Aduh!" Shana meratap. "Tadi aku sempat main-main dengan bola lendir. Rupanya bolanya jatuh ke sofa waktu aku berdiri tadi. Dan sekarang sofanya berlubang!"
"Cepat—tutup lubang itu sebelum Mom dan Dad tahu...," kataku.
Tapi tentu saja tepat pada detik itulah Mom dan Dad muncul di ruang duduk.
"Bagaimana? Sudah siap menyambut tamu-tamu kalian?" tanya Dad.
Aku menyilangkan jari sambil berharap mereka tidak melihat lubang menganga di jok sofa.
"Astaga! Kalian apakan sofanya?" Mom memekik.

***
    
Baru lama kemudian Mom dan Dad bisa melupakan sofa yang rusak itu.
Sementara aku bahkan butuh waktu lebih lama lagi untuk melupakan pestaku yang gagal total.
Begitulah kejadian pada malam Halloween tahun lalu. Jadi, dua tahun berturut-turut perayaan Halloweenku kacau balau.
Sekarang sudah satu tahun berlalu.
Dan Halloween tahun ini sudah di ambang pintu. Tahun ini, kami punya alasan dua kali lebih banyak untuk membalas dendam pada Tabby dan Lee.
Kalau saja kami punya rencana....
    
    
         
    
    
    
    
    
Chapter 9     
    
"TAHUN ini aku jadi putri ruang angkasa," Tabby mengumumkan.
Rambutnya yang pirang disisir ke atas lagi, dan ia pun kembali mengenakan tiara dengan permata tiruan. Ia juga memakai gaun panjang berenda yang sama.
Kostum yang sama seperti dua tahun lalu. Tapi supaya punya penampilan ruang angkasa, Tabby mencat wajahnya dengan warna hijau terang.
Ia selalu mau jadi putri, pikirku dengan getir. Hijau atau tidak hijau, ia mesti jadi putri.
Lee muncul dengan jubah dan celana ketat, dan mengaku sebagai Superman. Ia bilang ia meminjam kostum adiknya. Ia juga menjelaskan kenapa ia tidak sempat mencari kostum sendiri. Tapi aku tidak mengerti apa yang dikatakannya sebab, seperti biasanya, ia bicara sambil mengunyah permen karet.
Walker dan aku jadi hantu. Kami memakai seprai, yang kemudian kami beri lubang untuk mata dan lengan.
Bagian belakang seprai yang kupakai terseret-seret di tanah berumput. Seharusnya aku memotongnya lebih pendek. Tapi sekarang sudah terlambat. Kami sudah mau berangkat untuk acara trick-or-treat.
"Mana Shane dan Shana?" tanya Lee.
"Nanti juga ketemu," sahutku. "Ayo, kita jalan saja."
Udara cukup dingin, dan langit tampak cerah. Bulan sabit melayang pucat di atas atap-atap rumah. Rumput berkilau kelabu karena diselubungi lapisan tipis embun es.
Kami berhenti di ujung pekaranganku. Sebuah minivan lewat.
Aku melihat sepasang anjing mengintip lewat jendela belakang. Pengemudi mobil itu sempat mengurangi kecepatan untuk mengamati kami.
"Enaknya kita mulai dari mana?" tanya Tabby. Lee bergumam tak jelas.
"Rasanya aku ingin keliling sepanjang malam untuk mengumpulkan permen!" seru Walker. "Bisa jadi ini terakhir kali kita ikut acara trick-or-treat."
"Lho, memangnya kenapa?" tanya Tabby seraya memalingkan wajahnya yang hijau ke arah Walker.
"Tahun depan kita kan sudah remaja," Walker menjelaskan.
"Tahun depan kita sudah terlalu besar untuk acara seperti ini."
Aku langsung agak sedih mendengarnya.
Aku berusaha menarik napas dalam-dalam. Tapi aku lupa membuat lubang untuk hidung atau mulut di sepraiku. Kami belum keluar dari halaman rumahku, tapi aku sudah mulai gerah!
"Bagaimana kalau kita mulai dari The Willows saja?" aku mengusulkan.
The Willows daerah rumah-rumah kecil. Daerah itu terletak di balik sebuah hutan kecil, hanya dua blok dari rumahku.
"Kenapa dari situ?" tanya Tabby sambil mengatur letak tiaranya.
"Karena rumah-rumah di situ berdempetan," aku menjelaskan. "Kita bisa mengumpulkan banyak permen tanpa harus jalan terlalu jauh."
"Boleh juga usulnya," kata Lee.
Kami mulai menyusuri trotoar. Di seberang jalan aku melihat dua monster dan satu hantu melintasi halaman depan sebuah rumah.
Mereka anak-anak kecil yang ditemani ayah mereka. Kostumku berkibar-kibar tertiup angin ketika kami jalan. Daun-daun gugur yang terselubung es bekersak-kersak terinjak sepatuku. Langit seakan-akan bertambah hitam ketika kami melewati pohon-pohon gelap di hutan kecil.
Beberapa menit kemudian kami sudah sampai di The Willows. Lampu-lampu jalanan memancarkan cahaya kuning yang hangat. Banyak rumah dihiasi lampu-lampu berwarna jingga dan hijau, kertas yang dipotong agar menyerupai siluet tukang sihir, dan Jack-o'- lantern—labu Halloween—yang berkerlap-kerlip.
Kami berempat berjalan dari rumah ke rumah, dan di setiap rumah kami berseru "Trick or treat!"
Dalam waktu singkat kami telah berhasil mengumpulkan cukup banyak permen.
Orang-orang terkagum-kagum melihat kostum putri raja yang dikenakan Tabby. Ia satu-satunya dalam kelompok kami yang memakai kostum sungguhan, dan karena itu ia jadi tampak mencolok.
Kami berpapasan dengan banyak anak lain ketika kami berjalan ke ujung blok. Hampir semuanya kelihatan lebih kecil dari kami. Ada satu anak yang jadi karton susu. Di pinggir kostumnya bahkan ada keterangan mengenai kandungan gizi segala.
Kami memerlukan waktu setengah jam untuk mendatangi semua rumah di kedua sisi jalan. The Willows berakhir pada suatu jalan buntu.
"Sekarang kita ke mana?" tanya Tabby.
"Hei, tunggu. Masih ada satu rumah lagi," ujar Walker. Ia menunjuk rumah kecil yang setengah tersembunyi di antara pepohonan.
"Aku tidak melihatnya tadi," kataku. "Mungkin karena letaknya tidak di tepi jalan."
"Lampunya menyala, dan di jendela ada labu," kata Walker. "Ayo, kita ke sana."
Kami berjalan ke pintu depan dan menekan bel. Pintunya langsung membuka. Seorang wanita kecil berambut putih muncul di hadapan kami. Ia menatap kami sambil memicingkan mata di balik kacamata tebalnya.
"Trick or treatt" kami berempat berseru serempak.
"Oh, ya ampun!" seru wanita itu. Ia menempelkan tangan ke pipi. "Betapa bagusnya kostum kalian!"
Hah? Apanya yang bagus? pikirku. Dua seprai tua dan baju Superman pinjaman bekas tahun lalu?
Wanita tua itu berbalik. "Forrest, coba lihat ini!" ia memanggil. "Kau harus lihat kostum-kostum ini."
Aku mendengar seorang pria terbatuk-batuk di dalam rumah.
"Masuklah. Ayo, masuk," wanita tua itu memohon. "Aku ingin suamiku bisa melihat kalian."
Ia mundur sedikit agar kami bisa lewat.
Kami berempat ragu-ragu.
"Masuklah!" desak wanita itu. "Forrest harus melihat kostum kalian. Tapi dia sulit bangun. Mari!"
Tabby yang masuk lebih dulu. Kami melangkah ke ruang duduk kecil yang remang-remang. Api tampak menari-nari di perapian kecil yang menempel di salah satu dinding. Panasnya minta ampun!
Wanita tua itu menutup pintu depan. "Forrest! Forrest!" ia memanggil-manggil. Kemudian ia berpaling kepada kami dan tersenyum. "Dia ada di kamar belakang. Ikuti aku."
Ia membuka pintu dan membiarkan kami masuk. Di luar dugaanku, kamar belakang luas sekali. Dan penuh sesak dengan anak-anak berkostum.
"Hei!" aku berseru kaget. Cepat-cepat aku memandang berkeliling.
Sebagian besar anak telah melepaskan topeng masing-masing.  Beberapa anak menangis. Ada juga yang berwajah merah dan marah. Sejumlah anak duduk bersilang kaki di lantai sambil pasang tampang suntuk.
"Ada apa ini?" tanya Tabby dengan suara melengking. Matanya terbelalak lebar karena ngeri.
Seorang pria bertubuh kecil dengan wajah merah dan rambut putih acak-acakan muncul dari sudut ruangan. Langkahnya pincang, dan ia berjalan dengan menggunakan tongkat. "Aku suka kostum kalian," katanya sambil menyeringai.
"K-kami harus pulang sekarang," Tabby tergagap-gagap.
Kami semua berpaling ke pintu. Tapi wanita tua itu telah menutupnya.
Aku kembali memperhatikan anak-anak berkostum di sekeliling kami. Paling tidak ada dua lusin anak. Dan semuanya tampak ketakutan.
"Kami harus pulang," ulang Tabby dengan suara melengking.
"Yeah. Biarkan kami pergi," Lee berkeras.
Pria tua itu meringis. Wanita tadi menghampirinya. "Kalian harus tinggal di sini," katanya. "Kami suka melihat kostum kalian."
"Kalian tidak boleh pergi," suaminya menambahkan seraya bersandar pada tongkatnya. "Kami harus melihat kostum kalian."
"Hah? Apa maksudnya? Berapa lama kami harus tinggal di sini?" seru Tabby.
"Untuk selama-lamanya," pasangan tua itu menyahut berbarengan.
    
==============================
Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================
    
Chapter 10     
    
BEGITULAH khayalanku.
Aku sedang berdiri di tepi jalan di depan rumahku, menunggu kedatangan teman-temanku. Dan sambil menunggu, aku berkhayal bahwa Tabby dan Lee dijebak oleh dua orang tua yang suka menyekap anak-anak berkostum untuk selama-lamanya.
Dalam khayalanku itu, Walker dan aku berhasil lolos melalui sebuah pintu samping.
Tapi Tabby dan Lee tertangkap sebelum mereka sempat kabur. Dan setelah itu mereka tak pernah terlihat lagi.
Seru, kan?
Aku masih asyik membayang-bayangkan kejadian itu ketika Walker, Shane, dan Shana akhirnya tiba. Langsung saja kami masuk ke rumah dan naik ke kamarku.
"Kenapa sih kau senyum-senyum terus, Drew?" tanya Shana sambil duduk di tepi tempat tidurku.
"Aku baru saja membayangkan sesuatu yang lucu," sahutku. "Tentang Tabby dan Lee."
"Kalau mengenai mereka, apanya yang lucu?" tanya Walker.
Ia memungut bola tenis dari lantai dan melemparkannya kepada Shane.  Keduanya mulai bermain oper-operan di kamarku.
"Kejadiannya lucu sekali," kataku sambil duduk tegak dan meregangkan otot. "Terutama bagian akhirnya. Aku menceritakan khayalanku kepada teman, temanku. Mereka semua tertawa senang.
Tapi kemudian Shana menegurku. "Kita tidak punya waktu untuk bermimpi, Drew. Kita perlu rencana nyata. Sebentar lagi Halloween akan tiba."
Walker melempar bola terlalu tinggi. Bola itu menghantam lampu baca di meja belajarku, hingga terbalik. Shane melesat ke arah lampu dan menangkapnya sebelum membentur lantai.
"Wah, hebat!" seru Walker. "Gerakan paling cekatan bulan ini!"
Ia menepuk punggung Shane. Saking kerasnya, hampir saja lampu yang dipegang Shane terlepas.
"Grrrr!" Aku melotot pada Walker sambil menggeram, lalu menunjuk kursi belajarku. "Duduk di situ. Kita harus memeras otak sekarang."
"Drew benar," ujar Shana. "Tahun ini kita harus berhasil menakut-nakuti Tabby dan Lee. Kita harus membuat perhitungan untuk membalas dua Halloween yang kacau. Harus!"
"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" tanya Walker sambil menjatuhkan badannya yang jangkung kurus ke kursi belajarku.  "Bersembunyi di balik semak-semak lalu mengagetkan mereka?"
Sikapnya benar-benar tidak mendukung.
"Aku punya beberapa ide seram untuk acara pesta," ujarku. "Menurutku..."
"Jangan! Jangan bikin pesta lagi!" sela Shana.
"Betul. Jangan bikin pesta," saudara kembarnya menimpali.
"Tahun lalu kita sudah bekerja begitu keras untuk mempersiapkan pesta itu. Dan tahu-tahu Tabby dan Lee tidak jadi datang."
"Grrrrr." Aku langsung menggeram ketika teringat peristiwa tahun lalu itu.
"Tapi, kalau kita tidak bikin pesta, bagaimana cara kita menakut-nakuti mereka?" tanya Walker sambil mengetuk-ngetukkan jari ke meja belajar.
"Shane dan aku punya beberapa ide seru," kata Shana.
"Yeah. Tahun ini kalian harus mendengarkan Shana dan aku," ujar Shane. "Kami punya rencana yang bagus sekali. Percayalah, Tabby dan Lee bakal gemeteran sepanjang tahun. Sungguh!"
Walker menggeser kursinya lebih dekat. Shane duduk di sampingnya. Aku mencondongkan badan ke arah Shana di tempat tidur.
Sambil berbisik-bisik, Shana menceritakan rencana mereka kepada Walker dan aku. Rencana mereka ternyata memang sangat menyeramkan.
Cuma mendengarkan penjelasan Shana saja sudah membuatku merinding.
"Gampang, kan?" Shana mengakhiri penjelasannya. "Dan pasti berhasil. Aku jamin deh."
"Kita akan membuat Halloween paling berkesan untuk Tabby dan Lee!" Shane berkoar.
"Wow, jahat sekaliii," Walker bergumam.
Aku menatap si kembar yang gendut dan berpipi kemerahan. Tampang mereka begitu polos. Begitu manis dan lugu. Tapi otak mereka, bukan main! Rencana yang telah mereka siapkan untuk menakut-nakuti Tabby dan Lee benar-benar mengerikan!
"Rencana kalian memang jahat," aku membenarkan. "Dan kejam, dan seram, dan menakutkan." Aku menyeringai lebar. "Dan aku suka!"
Kami semua tertawa.
"Jadi bagaimana? Semuanya setuju?" tanya Shane. Kami semua mengangguk, lalu bersalaman.
"Bagus," kata Shana. "Nah, Drew, tugasmu adalah mengajak mereka ikut acara trick or treat alias berkeliling untuk mengumpulkan permen bersamamu. Selebihnya biar Shane dan aku yang urus."
"Beres," aku menyahut, masih sambil tersenyum lebar. "Tenang saja."
Kemudian kami bersorak-sorai dan saling memberi selamat. Kami tahu bahwa inilah saat yang kami tunggu-tunggu—saat kemenangan kami.
Shana hendak mengatakan sesuatu—tapi tiba-tiba Mom mengintip dari pintu.
"Wah, kelihatannya kalian serius sekali. Apa sih yang sedang kalian bicarakan?"
"Ehm... tidak penting kok," jawab Walker cepat-cepat.
"Kami lagi bikin rencana untuk Halloween, Mom," ujarku.
Mom menggigit bibir. Roman mukanya jadi serius.
"Begini, Drew," katanya sambil menggelengkan kepala, "rasanya lebih baik kalau tahun ini kau tetap di rumah pada malam Halloween."
    
    
    
        
    
    
    
Chapter 11     
    
"MOM—aku harus ikut acara trick-or-treat! Harus! Kalau tidak, rencana kami untuk balas dendam bakal gagal total!"
Hampir saja kata-kata itu tersembur dari mulutku. Tapi untung  aku masih bisa menguasai diri. Aku menahan lidah sambil mengamati Mom untuk mengetahui apakah ia serius atau cuma bercanda.
Ternyata ia memang serius.
"Aduh, Mom—memang kenapa, sih?" aku berseru. "Apa salahku? Kenapa aku dihukum tidak boleh keluar rumah?"
"Drew, ini bukan hukuman." Mom tertawa. "Cuma menurut Mom tahun ini lebih baik kau jangan ikut trick-or-treat. Jangan keluar malam-malam. Masak kau belum membaca berita-berita di koran? Banyak orang hilang di kota ini."
"Hah? Hilang?"
Aku teringat pada khayalanku. Aku kembali membayangkan pasangan orang tua yang menyekap anak-anak di ruang belakang rumah mereka.
"Ada anak-anak yang hilang?" aku bertanya.
Mom menggelengkan kepala. "Bukan. Bukan anak-anak. Orang dewasa. Kemarin ada satu orang lagi yang hilang. Ini sudah yang keempat. Nih, lihatlah."
Mom sedang mengepit gulungan koran. Ia membuka koran itu dan mengangkatnya agar kami semua bisa melihat halaman depan.
Judul berita utamanya ditulis dengan huruf-huruf besar dan tebal:
KEJADIAN MISTERIUS: 4 ORANG MENGHILANG

Aku turun dari tempat tidur dan berjalan menghampiri Mom. Shane dan Shana bertukar pandang dengan cemas. Roman muka Walker juga kelihatan waswas. Dengan gelisah ia mengetuk-ngetukkan jari ke meja belajarku.
Aku mengambil koran dari tangan Mom dan mengamati foto keempat orang yang hilang. Tiga pria dan seorang wanita.
"Polisi memperingatkan warga kota untuk berhati-hati," Mom berkata pelan-pelan.
Walker menghampiriku dan mengambil koran dari tanganku. Sejenak ia mengamati foto-foto yang terpampang. "Hei—orang-orang ini semuanya gendut!" serunya.
Kini kami semua berkerumun di sekeliling Walker dan menatap foto-foto hitam-putih itu. Walker benar. Keempat orang yang hilang memang gendut-gendut. Salah satunya, seorang pria gendut berkepala botak yang memakai sweter, mempunyai paling tidak enam lipatan lemak di bawah dagunya!
"Aneh," aku bergumam.
Shane dan Shana membisu. Mungkin karena terlalu takut.
"Kenapa empat orang gemuk mendadak hilang tanpa bekas?" tanya Walker.
Mom menghela napas.
"Polisi juga bingung," ujar Mom.
"Tapi, Mom, kalau hanya orang dewasa yang hilang, kenapa aku tidak boleh keluar untuk ikut trick-or-treat?" tanyaku.
"Drew boleh ikut, ya?" Shana memohon. "Ini kesempatan terakhir kami untuk keluar pada malam Halloween."
"Sori. Lebih baik jangan," sahut Mom. Ia menggigit bibir.
"Tapi kami akan sangat sangat sangat hati-hati!" aku berjanji.
"Mom keberatan," Mom menegaskan.
Dan dengan demikian acara Halloween kami sekali lagi rusak total.     







Chapter 12

TAPI akhirnya Dad bilang aku boleh keluar pada malam Halloween.
Waktu itu sudah dua hari berlalu. Dan selama itu Dad dan Mom terus membahas masalah itu.
"Kau boleh ikut kalau kau pergi beramai-ramai," kata Dad. "Jangan pergi jauh-jauh. Dan jangan berpisah dari teman-temanmu. Oke, Kurcaci?"
"Thanks, Dad!" aku berseru. Saking gembiranya, aku tidak keberatan dijuluki Kurcaci! Aku malah mengejutkan Dad dengan memeluknya erat-erat.
"Kau yakin Drew akan baik-baik saja?" tanya Mom pada Dad.
"Tentu saja Dad yakin!" seruku.
Pokoknya aku takkan membiarkan mereka berubah pikiran.
Cepat-cepat aku menuju ke pesawat telepon untuk memberitahu Walker bahwa rencana kami tidak jadi batal!
"Pada malam Halloween akan ada seribu anak yang berkeliling dari rumah ke rumah," kata Dad pada Mom. "Lagi pula, Drew dan teman-temannya sudah cukup besar dan cukup pintar untuk menjaga diri."
"Thanks, Dad!" aku berseru sekali lagi.
Mom sebenarnya masih ingin mengatakan sesuatu. Tapi aku keburu kabur dari dapur dan berlari ke kamarku sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata pun.
Aku menelepon Walker untuk menyampaikan kabar baik ini. Ia akan menghubungi Shane dan Shana, untuk meminta mereka bersiap-siap pada malam Halloween.
Semuanya sudah siap. Sekarang tinggal satu masalah kecil saja. Aku harus bisa membujuk Tabby dan Lee untuk ikut bersama kami.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menelepon Tabby. Ibunya mengatakan ia sedang di rumah Lee, untuk membantu Lee mempersiapkan kostum Halloween.
Jadi aku bergegas ke rumah Lee. Waktu itu hari Sabtu sore yang kelabu. Sepanjang pagi turun hujan, dan awan-awan badai masih menyelubungi langit.
Rumput di pekarangan rumah-rumah yang kulewati tampak berkilau-kilau karena basah. Aku melompati genangan-genangan air hujan di trotoar. Aku mengenakan sweter abu-abu yang tebal. Tapi udara terasa dingin dan lembap, sehingga aku menyesal tidak melapisinya dengan jaket.
Blok terakhir menjelang rumah Lee kulewati sambil berlari kecil, antara lain agar aku tidak kedinginan. Aku berhenti di depan pintu rumah Lee dan mengatur napas. Kemudian aku menekan bel pintu.
Beberapa detik kemudian Lee membuka pintu.
"Wah!" aku berseru ketika melihat kostumnya. Di kepalanya berayun-ayun sepasang antena. Ia mengenakan rompi kuning berbulu di atas baju renang cewek bergaris hitam-kuning.
"K-kau jadi lebah?" aku tergagap-gagap.
Lee mengangguk. "Tabby dan aku masih sibuk menyiapkan kostum ini. Tadi pagi kami membeli celana ketat hitam untuk kakiku."
"Keren lho," kataku. Padahal penampilannya benar-benar konyol. Tapi untuk apa aku memberitahunya?
Tabby menyapaku ketika aku masuk ke ruang baca. Ia baru saja mengeluarkan celana ketat Lee dari kotak dan sedang menarik-nariknya.
"Eh, Drew—kayaknya kau tambah kurus, ya?" ia bertanya.
"Hah? Masa, sih?"
"Oh. Jadi kau suka pakai sweter yang kedodoran begitu, ya?"
Jailnya memang tak ada habis-habisnya.
Ia memalingkan muka. Tapi aku sempat melihatnya cengar-cengir sendiri. Ia pikir dirinya lucu sekali.
"Atau itu kostummu, ya?" ia bertanya.
Aku tidak menggubris leluconnya yang konyol. "Bukan. Kali ini aku jadi pahlawan super," sahutku. "Aku akan memakai jubah dan celana ketat. Kau sendiri mau jadi apa?"
"Balerina," jawabnya. Ia menyerahkan celana ketat kepada Lee.
"Ini kaki lebahmu," katanya. "Kau punya kertas karton tebal?"
"Untuk apa?" tanya Lee.
"Kita perlu bikin sengat. Untuk ditempel di belakang celanamu."
"Tidak usah!" Lee memprotes. "Aku tidak mau pakai sengat. Aku tidak butuh. Paling-paling juga patah karena kududuki."
Aku membiarkan mereka berdebat selama beberapa menit. Aku sendiri tidak ikut campur.
Akhirnya Lee yang menang. Ia tidak sudi pakai sengat.
Tabby pasang tampang cemberut. Ia paling sebal kalau keinginannya tidak terpenuhi. Tapi Lee bahkan lebih keras kepala lagi daripada Tabby.
"Begini," aku angkat bicara. "Walker, Shane, Shana, dan aku mau keliling bersama-sama pada malam Halloween nanti." Aku menarik napas dalam-dalam sebelum mengajukan pertanyaan. "Kalian mau ikut?"
"Boleh saja," jawab Lee.
"Oke," kata Tabby.
Dan dengan demikian selesailah tugasku. Perangkap sudah terpasang.
Tabby dan Lee bakal mengalami Halloween paling menakutkan seumur hidup mereka. Masalahnya, hal yang sama juga terjadi pada kami.
        
==============================
Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================   
    
Chapter 13     
    
WAKTU berjalan dengan lambat. Padahal aku sudah tak sabar menanti Halloween.
Akhirnya, malam yang kutunggu-tunggu pun tiba. Saking gugupnya, aku nyaris tidak sanggup menyiapkan kostum pahlawan super yang akan kukenakan.
Kostumku seadanya saja. Aku memakai celana ketat berwarna biru cerah dan kaus biru. Ditambah celana pendek berwarna merah.
Untuk jubahku, aku memotong taplak meja bekas berwarna merah dan mengikatnya ke leherku. Selain itu aku mengenakan sepatu bot putih dari bahan vinil. Dan untuk penutup muka, aku memakai topeng merah yang kubuat dari karton.
"Super Drew!" aku berseru sambil berkaca di cermin.
Aku tahu kostumku kurang bagus. Tapi aku tidak peduli. Malam ini kostum tidak penting. Malam ini adalah malam teror.
Malam untuk menakut-nakuti dua anak brengsek, sampai mereka ngeri setengah mati!
Aku mengambil dua kantong belanja dari lemari untuk menampung permen yang bakal kami dapat. Lalu aku bergegas menuruni tangga. Aku berharap bisa menyusup keluar dari rumah sebelum kepergok orangtuaku. Aku ingin menghindari ceramah panjang-lebar bahwa aku harus berhati-hati di luar.
Ternyata aku kurang beruntung.
Dad mencegatku di kaki tangga.
"Wow! Kostummu bagus sekali, Kurcaci!" ia berseru. "Kau jadi apa, sih?"
"Tolong jangan panggil aku Kurcaci," aku bergumam. Aku berusaha menyelinap di sampingnya dan berlari ke pintu depan, tapi Dad menghalang-halangi langkahku.
"Tunggu sebentar!" katanya. "Kita bikin foto dulu."
"Aku sudah terlambat," ujarku. Aku telah berjanji pada Walker untuk menemuinya di pojok jalan pukul setengah delapan tepat. Dan sekarang sudah jam delapan kurang seperempat.
"Hati-hati, ya!" Mom memperingatkanku dari ruang baca.
Dad berbalik untuk mengambil kamera. Aku menunggu di kaki tangga sambil mengetuk-ngetukkan jari ke pagar tangga.
"Jangan bicara dengan orang yang tidak kaukenal!" Mom berseru lagi.
Itu sih aku sudah tahu dari zaman Taman Kanak-kanak!
"Oke. Satu foto saja," kata Dad sambil membidikku dengan kameranya. "Coba berdiri di depan pintu, Drew. Kau jadi Wonder Woman, ya?"
"Cuma pahlawan super," aku bergumam. "Aku harus berangkat, nih."
Ia terus membidikkan kamera. "Senyum, dong!"
Aku meringis.
Ia menekan tombol.
"Oh. Tunggu. Lampu kilatnya tidak menyala, ya?" ia bertanya.
"Sepertinya Dad lupa menghidupkan lampu kilat." Ia memeriksa kameranya.
"Dad...!" aku mulai memprotes.
Aku membayangkan Walker berdiri sendirian di pojok jalan. Ia paling sebal kalau harus menunggu. Ia pasti uring-uringan.
Aku juga begitu.
"Dad, teman-temanku sudah menunggu."
"Kalau ada orang yang mencurigakan, kau harus segera lari," Mom kembali memperingatkanku dari ruang baca.
"Ayo, sekali lagi, Kurcaci." Dad kembali membidikkan kamera. "Senyum."
Ia menekan tombol. Lampu kilatnya tetap tidak menyala.
"Ya ampun..." Sekali lagi Dad memeriksa kameranya.
"Ayo dong, Dad..." aku memohon.
"Oh, pantas," Dad bergumam. "Filmnya belum dipasang." Ia menggelengkan kepala. "Tunggu sebentar. Dad mau ambil film dulu di atas. Cuma sebentar, kok."
"Dad...!" aku berseru.
Bel pintu berdering. Kami berdua tersentak kaget.
"Pasti anak-anak yang mau minta permen," ujar Dad.
Aku bergegas ke pintu dan membukanya. Seorang anak laki-laki berdiri di depanku. Pakaiannya serbahitam. Ia mengenakan sweter hitam dan celana hitam. Kepalanya tertutup topi rajut berwarna hitam. Wajahnya diberi make-up hitam. Dan ia juga memakai sarung tangan hitam.
"Kostum bagus," puji Dad. "Coba ambilkan permen untuknya, Drew."
Aku mengerang. "Dad, dia tidak mau minta permen. Ini kan Walker."
Aku membuka pintu kasa agar Walker bisa masuk.
"Katanya kita mau ketemu di pojok jalan," Walker bersungut-sungut.
Dad mengamati kostum Walker yang serba hitam. "Wah, kau jadi apa, sih?"
"Malam gelap yang dihantam badai," jawab Walker.
"Badai? Mana badainya?" tanyaku.
"Ini," sahut Walker. Ia membidikkan pistol air berwarna hitam dan menyemprot wajahku.
Dad langsung tertawa terbahak-bahak. Ia menganggap tingkah Walker lucu sekali. Ia memanggil Mom dari ruang baca agar melihat kostum kami.
"Kalau begini terus, kita tak bakal bisa keluar," aku berbisik kepada Walker. "Kita pasti terlambat untuk menemui Tabby dan Lee."
Kami telah merencanakan segala sesuatu dengan cermat. Tapi sekarang rencana kami terancam gagal total. Perutku serasa diaduk-aduk. Leherku mendadak seperti tercekik  jubahku sendiri.
Mom dan Dad masih mengagumi kostum Walker.
"Malam gelap yang dihantam badai. Bagus sekali," kata Mom. "Tapi bagaimana orang lain bisa melihatmu dalam gelap? Sebaiknya kau berhati-hati kalau menyeberang jalan."
Bukan main! Malam ini Mom tak bosan-bosannya memberi nasihat kepada semua orang.
Aku tidak tahan lagi. "Kami harus berangkat. Sampai nanti," kataku. Aku mendorong Walker keluar pintu dan segera menyusulnya.
Mom masih menyerukan sesuatu untuk memperingatkan kami, tapi aku sudah tidak mendengarkannya. Aku menyeret Walker ke trotoar, dan kami pun bergegas ke pojok jalan. Di situlah kami seharusnya menunggu Tabby dan Lee. Kedua korban kami.
"Mestinya kau tetap menunggu di sini," aku menegur Walker. "Jangan-jangan Tabby dan Lee kemari tadi dan sekarang sudah pergi lagi."
"Habis, kau telat, sih," Walker memprotes. "Kupikir ada yang tidak beres."
Jantungku berdegup kencang. Aku semakin gelisah.
"Oke, oke," ujarku. "Kita harus tetap tenang."
Udara malam terasa dingin. Langit bertaburan bintang. Embun es membuat rumput di pekarangan tampak berkilau-kilau. Bulan sabit seakan-akan melayang di atas atap-atap rumah.
Lampu-lampu di sebagian besar rumah menyala terang. Aku melihat dua kelompok anak kecil di seberang jalan. Mereka bergegas ke rumah yang sama. Seekor anjing menggonggong di rumah sebelah.
Aku menoleh ke pojok jalan, tempat kami seharusnya menunggu Tabby dan Lee. Tak ada siapa-siapa.
Walker dan aku berhenti di bawah lampu penerangan jalan. Aku mengendurkan jubah yang terikat di leherku. Jubah itu benar-benar membuatku tercekik. Ternyata aku kurang pendek memotongnya. Bagian bawahnya basah karena terseret-seret di trotoar.
"Di mana mereka?" tanyaku.
"Kau kan tahu sendiri, mereka selalu telat," sahut Walker.
Ia benar. Tabby dan Lee paling senang membuat orang lain menunggu.
"Mereka pasti akan segera datang," ujar Walker.
Pekarangan di pojok jalan dibatasi pagar hidup. Walker dan aku mulai mondar-mandir di antara tepi pagar dan tepi jalan. Saking gelapnya kostum Walker, ia sama sekali tak kelihatan kalau berdiri di bayangan pagar.
"Jangan mondar-mandir terus...!" aku hendak berkata.
Tapi suaraku tersangkut di tenggorokan ketika aku mendengar bunyi batuk. Dari balik pagar hidup. Bunyinya aneh sekali.
Bukan seperti batuk manusia, melainkan lebih mirip geraman binatang.
Aku menoleh dan melihat Walker juga mendengarnya. Ia berhenti mondar-mandir dan menatap pagar.
Aku mendengar bunyi berkeresak. Pagar hidup itu seakan-akan bergetar.
"S-siapa itu?" aku tergagap-gagap.
Pagar itu kembali bergoyang.
"Hei—siapa itu?" seru Walker.
Hening.
Pagarnya terguncang-guncang dengan keras.
"Jangan bercanda!" Walker berseru dengan suara gemetaran.
Sekali lagi terdengar geraman binatang.
"Ahhh!" aku memekik ketika sepasang makhluk mengerikan menerobos pagar hidup itu.
Aku cuma sempat melihat bulu-bulu kusut. Rahang yang ternganga lebar. Dan gigi-gigi yang berlumuran ludah.
Sebelum aku bisa berbalik, sesosok makhluk telah menerjangku sambil menggeram keras. Aku terjatuh ke rumput. Dan kemudian taringnya yang runcing menggigit pundakku.
         
    
    
    
    
    
    
Chapter 14     
    
AKU memekik kesakitan.
Aku berusaha bangkit. Tapi makhluk itu menahan tubuhku di tanah.
"Stop! Stop!" Aku meronta-ronta ketika makhluk itu mulai membelitku dengan jubahku sendiri.
"Hei...!" aku mendengar Walker berseru marah. Tapi aku tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi dengannya.
"Jangaaan! Lepaskan aku!" aku menjerit.
Dengan mengerahkan segenap tenaga, aku meraih ke atas—dan mengayunkan tangan ke wajah makhluk itu.
Tapi betapa kagetnya aku ketika wajah itu tiba-tiba terlepas dengan mudah.
Sebuah topeng. Aku sedang memegang sebuah topeng karet.
Aku sempat tercengang sebelum mengenali wajah di balik topeng itu. Todd Jeffrey. Ya. Todd Jeffrey, anak SMU yang dua tahun lalu menakut-nakuti kami di pesta Halloween Lee.
"Todd," aku bergumam. Dengan kesal aku menarik jubah yang membelit diriku.
"Kena kau! Kena kau!" ia berbisik. Ia melepaskanku dan membiarkanku berdiri.
"Dasar brengsek!" aku mengumpat, lalu melempar topeng karet itu ke wajahnya.
Ia menangkapnya dengan sebelah tangan dan tertawa. "Hei Drew, ini kan cuma main-main."
"Hah? Main-main? Main-main?" aku berseru kesal.
Aku bangkit dan segera menepis-nepis bajuku. Jubahku berantakan, penuh daun-daun basah berwarna cokelat.
Walker sempat bergumul dengan makhluk yang satu lagi. Makhluk itu melepaskan topengnya. Dan tentu saja ia adalah Joe, teman Todd yang menyebalkan.
"Moga-moga kalian tidak terlalu ngeri!" ia mengejek kami. Ia dan Todd langsung terpingkal-pingkal. Mereka berhigh-five sambil tertawa sampai terbungkuk-bungkuk.
Sebelum aku sempat mencaci-maki mereka, aku mendengar tawa lain. Di luar dugaanku, Tabby dan Lee muncul dari balik pagar.
Dan beramai-ramai mereka menertawakan Walker dan aku.
"Grrrrr!" aku menggeram kesal. Saat itu aku berharap diriku benar-benar seorang pahlawan super. Betapa inginnya aku memberi kepalan tinju super ke wajah mereka.
Atau paling tidak, merentangkan jubahku dan terbang pergi—terbang ke tempat jauh supaya aku tak perlu bertemu lagi dengan mereka.
"Selamat Halloween, Drew!" seru Tabby dengan nada mengejek.
"Selamat Halloween!" Tabby dan Lee mengulangi berbarengan sambil nyengir lebar.
"Sudah berapa lama kau dan Lee bersembunyi di situ?" aku bertanya dengan kesal.
"Cukup lama!" sahut Lee sambil cekikikan. Ia dan Tabby kembali terbahak-bahak.
"Kami sudah sejak tadi berdiri di situ," ujar Tabby. "Halloween memang asyik, ya?"
Aku menggeram tertahan. Tapi aku diam saja.
Tenang saja, Drew, aku berkata dalam hati. Tabby dan Lee dan kedua teman mereka memang mempermainkan dirimu.
Tapi bukan mereka yang akan tertawa nanti. Setelah ini, giliran Walker dan aku yang tertawa. Kalau Shane dan Shana sudah datang, mereka akan ketakutan setengah mati.
Todd dan Joe kembali memasang topeng monster masing-masing. Mereka mendongakkan kepala dan melolong bagaikan serigala.
"Mereka tidak ikut keliling bersama kita—kan?" aku bertanya pada Tabby.
Tabby menggelengkan kepala. Ia membetulkan letak mahkota di rambutnya yang pirang.
"Maaf saja," Todd menyahut dari balik topengnya yang mengerikan. "Trick-or treat kan acara anak-anak. Acara untuk anak-anak ingusan seperti kalian."
"Kalau begitu, kenapa kalian pakai kostum monster segala?" tanya Walker.
"Untuk menakut-nakuti anak kecil," jawab Joe. Ia dan Todd kembali tertawa.
Joe meraih topengku dan melorotkannya sampai ke daguku.
Todd mengusapkan punggung tangannya ke wajah Walker sehingga make-upnya berantakan. Lalu mereka lari untuk mencari korban baru.
Dasar brengsek.
Aku bersyukur mereka pergi. Aku memperhatikan kedua pengacau itu untuk memastikan mereka tidak berubah pikiran dan kembali lagi kemari.
"Suasana jadi meriah kalau ada mereka," kata Lee. Ia meletakkan kantong permennya yang berwarna jingga-hitam di rumput. Kemudian ia mengotak-atik antena lebah di kepalanya.
Aku mendengar beberapa anak tertawa di seberang jalan. Aku menoleh dan melihat empat anak kecil—semuanya berkostum  monster atau hantu—berlari ke pintu depan sebuah rumah.
"Ayo, kita mulai saja," ujar Tabby. "Aku bisa kedinginan kalau cuma berdiri saja di sini."
"Shane dan Shana mana?" tanya Lee. "Kupikir mereka juga mau ikut."
"Yeah. Mereka akan menyusul nanti," sahutku.
Kami menyeberangi jalan dan menuju ke rumah pertama, sebuah rumah besar yang terbuat dari batu bata. Jendelanya dihiasi labu yang diukir membentuk seraut wajah yang menyeringai.
Aku melirik jam tangan. Dan memekik tertahan.
Sudah hampir jam delapan lewat seperempat. Seharusnya Shane dan Shana menemui kami pukul delapan tepat di pojok jalan.
Ke mana mereka?
Mereka tidak pernah terlambat. Tidak pernah. Aku menelan ludah.
Jangan-jangan Halloween tahun ini bakal berantakan lagi.
Jangan-jangan ada sesuatu yang tidak beres.
    
    
    
    
         

    
Chapter 15

KAMI berhenti di teras depan rumah itu dan mengintip melalui pintu kaca. Seekor kucing berbulu jingga dengan mata besar berwarna biru cerah menatap kami dari balik pintu itu.
Aku menekan bel pintu.
Beberapa detik kemudian seorang wanita muda bercelana jeans dan berkaus kerah tinggi berwarna kuning membuka pintu sambil tersenyum. Ia membawa keranjang berisi cokelat Snickers dan Milky Ways.
"Kostum kalian bagus sekali," ia berkata sambil memasukkan sepotong cokelat ke kantong permen kami masing-masing.
"Drew—kantongmu dibuka, dong!" kata Tabby dengan nada tinggi.
"Oh. Sori." Aku masih sibuk memikirkan Shane dan Shana.
Aku menyodorkan kantong permenku ke hadapan wanita muda itu.
Kucing tadi menatapku dengan matanya yang biru.
"Kau jadi putri raja, ya?" wanita itu bertanya pada Tabby.
"Bukan. Balerina," sahut Tabby.
"Dan kau pasti sepotong arang," kata wanita itu pada Walker.
"Yah, kira-kira begitulah," Walker bergumam. Ia tidak menampilkan atraksi "malam gelap yang dihantam badai".
Tampaknya Walker juga kuatir karena Shane dan Shana belum muncul.
"Selamat Halloween," kata wanita itu, lalu menutup pintu.
Kami turun dari teras dan melintasi rumput yang berselubung embun es ke pekarangan sebelah. Ketika aku menoleh ke belakang, kulihat kucing tadi masih memperhatikan kami.
Rumah yang kami datangi ternyata gelap. Karena itu kami segera menuju ke rumah berikutnya. Sekelompok anak sudah menggerombol di depan pintu. Mereka berseru, "Trick or treat! Trick or treat!"
"Kenapa mereka belum datang?" aku berbisik kepada Walker.
Ia angkat bahu.
"Kalau mereka sampai tidak muncul..." kataku. Tapi kemudian aku sadar Tabby sedang memperhatikanku. Karena itu aku langsung tutup mulut.
Kami menunggu sampai kelompok anak itu pergi, lalu menggantikan mereka di depan pintu. Sepasang anak kecil—anak laki-laki dan anak perempuan berumur sekitar tiga atau empat tahun—membagi-bagikan kantong kecil berisi popcorn manis.
Mereka tertawa sewaktu melihat kostum Lee. Mereka ingin memegang antena di kepalanya. Salah satu dari mereka bertanya kenapa Lee tidak punya sengat.
"Soalnya sudah kupakai untuk menyengat anak nakal," sahut Lee.
Kedua anak kecil itu mengamati kostum Walker sambil mengerutkan kening. Tampaknya mereka agak ngeri melihatnya.
"Kau monster, ya?" si anak perempuan bertanya dengan waswas.
"Bukan. Aku sepotong arang," jawab Walker.
Anak perempuan itu mengangguk-angguk.
Kami segera pergi dan mendatangi tiga rumah lagi sebelum sampai di ujung blok. Aku melihat dua anak yang kukenal. Mereka mengenakan kostum robot yang serasi. Aku berhenti sebentar untuk menyapa mereka. 
Setelah itu aku berlari untuk menyusul teman-temanku. Mereka sudah melintasi jalan dan mulai mendatangi rumah-rumah di seberang.
Tiupan angin yang kencang membuat jubahku berkibar-kibar.
Aku menggigil. Dengan gelisah aku kembali melirik jam tangan.
Di mana mereka? Di mana Shane dan Shana? Padahal seluruh rencana kami tergantung pada mereka.
"Wah! Sejauh ini hasilnya lumayan juga!" ujar Lee. Ia membuka kantong permennya dan mengamati isinya.
"Ada yang dapat Kit Kat?" tanya Tabby. "Aku mau tukar, nih."
"Ada satu orang yang memberikan apel," kata Lee sambil meringis. Ia merogoh kantong permennya dan mengeluarkan apel itu.  Kemudian ia melemparnya sejauh mungkin melintasi pekarangan.
Apel itu membentur batang pohon, lalu menggelinding ke depan garasi rumah sebelah.
"Aku tidak mengerti kenapa ada orang yang membagikan apel," Lee menggerutu. "Seharusnya mereka sudah tahu kita cuma ingin permen dan cokelat!"
"Dasar pelit!" Tabby menimpali. Ia mengambil apel dari kantongnya, dan membuangnya ke rumput. Ditendangnya apel itu dengan ujung sepatu baletnya.
Tabby dan Lee memang patut mendapat ganjaran, aku berkata dalam hati. Kedua-duanya brengsek sekali.
Tapi di mana Shane dan Shana?
Kami mendatangi semua rumah sampai ke ujung blok. Malam semakin larut, dan kini tinggal sedikit anak yang masih berkeliling.
Lampu jalanan di ujung blok ternyata rusak, sehingga suasana di daerah itu jadi remang-remang.
Salah satu antena di kepala Lee tidak bisa berdiri tegak, merosot terus. Entah sudah berapa kali Lee membetulkan letaknya. Mungkin sudah sepuluh kali.
Sewaktu kami mendekati pojok jalan, sebuah pohon besar menghalangi cahaya bulan. Suasana semakin gelap.
"Awww...!" aku memekik ketika dua sosok tubuh menerjang kami dari balik pohon.
Semula aku menyangka Todd dan Joe kembali lagi. Tapi kemudian aku sadar sosok-sosok itu bukan mereka.
Kedua sosok itu berdiri membelakangi kami, menghalangi jalan. Keduanya mengenakan jubah panjang yang menggantung sampai menyentuh trotoar. Dan kepala mereka....
Kepala mereka....
Kepala mereka tertutup labu!
Labu besar bulat terpasang sempurna di pundak mereka.
"Hei...!" Walker memekik kaget. Ia mundur beberapa langkah dan menabrakku.
Tabby dan Lee memekik tertahan.
Tapi kejutan yang paling mengerikan masih menyusul.
Ketika kedua sosok itu berbalik, kami melihat wajah mereka yang mirip Jack-o-lantern.
Kami melihat senyum lebar dan mengerikan yang diukir di kepala labu mereka.
Mata mereka berbentuk segitiga yang menyala-nyala. Mata itu diterangi lidah api!
Lidah api berwarna jingga dan kuning tampak menari-nari di dalam kepala mereka!
Dan ketika kepala-kepala labu itu menatap kami sambil tersenyum menyeringai, Walker dan aku menjerit sekeras-kerasnya.
    
    
==============================
Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================
   
Chapter 16
    
JERITAN kami bergema di kegelapan malam.
Api di dalam kedua kepala labu di hadapan kami tampak berkobar-kobar.
Aku berpaling kepada Tabby dan Lee. Cahaya dari kedua wajah Jack-o-lantern menimbulkan bayangan yang menari-nari di muka Tabby dan Lee. Tapi mereka berdiri dengan tenang, dan menatap kedua sosok itu sambil tersenyum.
Tabby menoleh ke arahku. "Kalian mau menakut-nakuti kami, ya?" ia bertanya.
"Kami tahu itu Shane dan Shana," Lee menambahkan. Ia menarik jubah gelap panjang yang dipakai salah satu kepala labu itu. "Hei, Shane—apa kabar?"
Kedua kepala labu itu tetap membisu.
"Bagaimana cara kalian membuat api itu? Pakai lilin, ya?" tanya Tabby. "Apa kalian masih bisa melihat?"
Kedua kepala labu itu menyeringai tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Lidah api menyembur dari mulut salah satu kepala labu.
Aku merinding. Kostum-kostum ini terlalu hebat. Aku bisa mendengar api mendesis-desis di dalam kepala-kepala jingga itu.
Kenapa Tabby dan Lee tidak ngeri? aku bertanya-tanya.
Aku sudah menduga Shane dan Shana akan muncul dengan kostum yang menyeramkan. Tapi tak kusangka kostum mereka akan sehebat ini. Tak kusangka mereka akan memakai kepala Jack-o'-lantern, lengkap dengan apinya.
Kostum mereka luar biasa. Tapi aku kecewa sekali. Sebab Tabby dan Lee sama sekali tidak takut.
Halloween tahun ini bakal berantakan lagi—sama seperti tahun-tahun lalu, pikirku.
Aku menghampiri Walker. Raut mukanya tidak terbaca akibat make-up hitam yang dipakainya.
"Bagaimana cara mereka membuat api itu?" ia berbisik padaku. "Hebat sekali!"
Aku mengangguk. "Tapi sayangnya Tabby dan Lee tetap tidak takut," sahutku, juga sambil berbisik.
"Tenang saja," balas Walker. "Shane dan Shana kan baru mulai."
Jubahku melilit kakiku. Aku menariknya dan menyibakkannya ke belakang.
Kedua kepala labu tetap membisu.
Tabby meraih kantong permennya dan berpaling padaku.
"Kalian harus cari akal yang lebih hebat kalau mau menakut-nakuti aku dan Lee," katanya sambil mencibir.
"Kami bukan penakut seperti kalian," Lee berkoar.
Lidah api menyembur dari mata di kedua kepala labu itu.
Keduanya menatap Tabby dan Lee sambil memiringkan kepala.
Bagaimana caranya? aku bertanya-tanya. Bagaimana mereka bisa mengendalikan apinya seperti itu? Apakah mereka punya semacam remote control?
"Hei, apa kalian mau tetap berdiri di sini sampai mati beku?" tanya Tabby. "Katanya kalian mau keliling untuk mengumpulkan permen."
"Hmm, bagaimana kalau kita ke daerah rumah kalian sekarang?" aku mengusulkan.
Tabby hendak menyahut—tapi desis api dari salah satu kepala labu membuatnya terdiam.
"Kita ke tempat lain saja," kata si kepala labu itu. Suaranya parau.
"Ke tempat lain," rekannya mengulangi dengan suara tak kalah paraunya. Bunyinya mirip daun-daun kering yang diremas-remas.
"Apa?" seru Lee.
"Kami tahu tempat yang lebih baik," kata kepala labu yang pertama. Mulutnya yang terukir di kulit labu sama sekali tidak bergerak. Suaranya berasal dari dalam kepala itu. Lidah api kuning dan jingga tampak menari-nari, seirama ucapan mereka.
"Kami tahu tempat yang lebih baik."
"Tempat yang takkan pernah kalian lupakan."
Tabby tertawa, lalu geleng-geleng kepala. "Oh, wow. Suara kalian syereeem," katanya mengejek.
"Iiih, aku jadi ngeri! Aku jadi ngeri!" Lee menimpali.
Ia dan Tabby tertawa bersama-sama.
"Sudahlah," ujar Tabby kepada kedua kepala labu. "Kostum kalian memang bagus. Tapi kami tidak takut. Percuma saja kalian pakai suara seram segala."
"Yeah," kata Lee. "Mendingan kita keliling lagi. Sudah malam, nih."
"Ikuti kamiii," perintah salah satu kepala labu.
"Ikuti kami ke tempat baru. Tempat yang lebih baik."
Mereka mengajak kami menyusuri jalan. Kepala mereka yang besar tampak berayun-ayun mengikuti langkah kaki mereka. Api di dalam kepala-kepala itu memancarkan cahaya bagaikan obor.
"Apa maksudnya ini?" Walker berbisik ke telingaku. "Rencana kita kan tidak begini. Kita mau dibawa ke mana?"
Aku sendiri juga tidak tahu.
    


    
    
    
    

Chapter 17

KAMI berjalan sejauh tiga blok, semakin jauh meninggalkan daerah kami. Kami melewati sederet rumah besar di tengah halaman-halaman luas yang dibatasi pagar hidup tinggi. Di blok berikut terdapat sebidang tanah kosong. Sebuah rumah yang baru setengah jadi berdiri di sana.
Kedua kepala labu berjalan cepat dengan langkah-langkah panjang. Kepala mereka berayun-ayun. Mereka terus memandang lurus ke depan, tak sekali pun menoleh ke arah kami.
"Mau ke mana kita?" Lee bertanya sambil mengejar mereka. Ia menarik pundak salah satu kepala labu. "Di seberang kan banyak rumah yang bisa kita datangi."
Makhluk Jack-o’-lantern itu tidak mengurangi kecepatan. "Kita akan mencoba tempat baru," katanya.
"Yesssss," kawannya mendesis. "Tempat baru. Tempat yang lebih baik. Lihat saja nanti."
Mereka mengajak kami melewati tanah kosong. Melewati sederetan rumah kecil yang gelap.
"Mau ke mana kita?" Walker berbisik. Ia menggerakkan dagu ke arah Shane dan Shana. "Kenapa sih mereka? Kenapa tingkah mereka jadi aneh begini? Lama-lama malah aku yang jadi ngeri, nih."
Aku memandang berkeliling. Tinggal sedikit anak yang masih mondar-mandir di jalan. Sebagian besar sudah pulang, karena malam memang sudah larut.
Di pekarangan berikut kulihat dua anak bertubuh jangkung—berkostum gorila dan badut gendut—sedang merogoh kantong permen masing-masing sambil membungkuk. Mereka tidak menoleh ketika kami lewat.
"Hei—kenapa kita jalan terus?" Lee memprotes. Ia menunjuk sebuah rumah di pojok jalan. "Kita mampir ke situ, oke? Penghuni rumah itu selalu membagikan permen banyak-banyak. Betul, lho. Sampai bergenggam-genggam!"
Kedua kepala labu tidak menghiraukan kata-katanya. Mereka terus berjalan dengan cepat.
"Hei—HEI! Berhenti!" Tabby berseru.
Ia dan Lee menyusul kedua kepala labu. "Berhenti dulu, dong!"
"Tempat yang lebih baik," kata salah satu kepala labu dengan suara serak.
"Kita coba tempat yang baru," kawannya menimpali. "Tempat yang lebih baik."
Aku merinding. Tingkah Shane dan Shana memang aneh sekali.
Jubahku tersangkut pada serumpun rumput liar. Aku menariknya sampai terlepas. Udara tiba-tiba terasa lebih dingin dan lembap. Kubungkus badanku dengan jubahku.
Lee, yang berjalan di depan, kembali mengotak-atik antena lebahnya. Kulihat sepatu balet Tabby telah berlepotan lumpur.
Kami mengikuti kedua kepala labu menyeberang jalan. Mereka meninggalkan trotoar, dan masuk ke hutan yang gelap.
Walker bergegas menyusulku. Biarpun wajahnya diolesi make-up tebal, bisa kulihat wajahnya tampak cemas. "Kenapa mereka mengajak kita ke hutan?" ia berbisik.
Aku angkat bahu. "Barangkali mereka ingin menteror Tabby dan Lee di sini."
Ranting-ranting dan daun-daun mati bekersak-kersak di bawah kaki kami ketika kami menerobos pepohonan.
Sebuah pikiran mengerikan terlintas dalam benakku. Tiba-tiba aku teringat pada keempat orang gendut yang hilang.
Empat orang. Hilang tanpa bekas, tanpa jejak.
Aku teringat semua nasihat Mom. Aku teringat pesannya bahwa aku harus tetap berada di tempat ramai dan terang.
Aku ingat bahwa ia sebenarnya tak setuju aku keluar malam ini.
Ada yang tidak beres, aku menyadari.
Peringatan Mom memang beralasan. Seharusnya malam-malam begini kami tidak masuk ke dalam hutan.
Seharusnya kami tetap di jalanan, di dekat rumah-rumah yang terang.
Seharusnya kami tidak nekat masuk ke hutan yang gelap dan menyeramkan ini.
"Tempat yang baru," salah satu kepala labu kembali berkata.
"Di balik hutan ini," kawannya menyambung. "Tempat yang lebih bagus. Lihat saja nanti."
Cahaya dari dalam kepala mereka tampak berkelap-kelip, menerangi pohon-pohon dan rerumputan.
Jantungku mulai berdegup-degup. Aku mempercepat langkah agar tidak ketinggalan.
Shane dan Shana sahabat kami, kataku dalam hati. Mereka pasti punya rencana bagus. Tapi ini tidak sesuai dengan rencana kami. Sama sekali bukan rencana kami.
Kenapa aku tiba-tiba dapat firasat buruk? 
    
    
    
    
    
    

    
    
Chapter 18
    
"SHANE! Shana! Apa-apaan sih kalian?" Tabby memprotes dengan sengit. "Lihat, nih! Lihat baju balerina-ku!"
Ia menarik bagian depan bajunya. Walaupun keadaan sekeliling hampir gelap, aku tetap bisa melihat bercak-bercak lumpur di bagian depan bajunya itu.
"Aku mau keluar dari hutan ini!" Tabby berseru dengan gusar.
"Yeah. Di sini terlalu gelap. Dan kita terlalu banyak membuang waktu," Lee menimpali.
Kantong permennya tersangkut pada dahan pohon yang rendah. Ia menariknya keras-keras, berupaya melepaskannya.
Shane dan Shana tidak menghiraukan protes Tabby dan Lee. Kepala labu mereka berayun-ayun ketika mereka menerobos hutan dengan langkah panjang dan cepat.
Beberapa menit kemudian kami tiba di sebuah jalan sempit.
Kami bersorak gembira ketika melihat lampu-lampu jalanan yang terang serta deretan rumah-rumah kecil.
"Sekarang kita bisa mulai," kata salah satu kepala labu.
Aku memandang ke kiri-kanan, dan melihat deretan rumah yang semua berukuran kecil. Halaman-halamannya juga sempit.
Sebagian besar lampu teras menyala. Dan kebanyakan rumah dihiasi dekorasi Halloween.
Rumah-rumah itu membentang dari ujung ke ujung, berderet di kiri-kanan, sejauh mata memandang.
"Wow, tempat ini memang asyik untuk trick-or-treat!" ujarku.
Perasaanku langsung jauh lebih enak. Aku tak lagi ngeri seperti tadi.
"Yeah!" kata Lee. "Kita bisa mendapat sekarung permen di sini!"
"Di mana kita?" tanya Walker. "Rasanya aku belum pernah ke daerah ini."
Tak ada yang menanggapinya. Kami semua sudah tak sabar untuk segera mulai berkeliling.
Aku membuang beberapa helai daun basah yang menempel di jubahku, dan membetulkan letak topengku. Penampilan kami agak berantakan gara-gara menerobos hutan. Kami menghabiskan beberapa detik untuk merapikan kostum masing-masing.
Kemudian kami berenam bergegas menuju ke rumah pertama.
Seorang wanita muda membuka pintu. Ia sedang menggendong bayi. Ia memasukkan batang-batang cokelat berukuran mini ke kantong-kantong kami. Si bayi menatap kedua kepala labu dan tersenyum.
Di rumah berikut, kami harus menunggu lama sekali sebelum sepasang suami-istri yang sudah lanjut usia muncul di pintu. "Trick or treat!" kami berseru lantang. Mereka segera menutup telinga dengan tangan. Agaknya mereka tidak tahan mendengar suara bising.
"Maaf, tapi kami tidak punya permen," ujar wanita tua di hadapan kami. Ia membagi-bagikan uang logam. Masing-masing mendapat satu keping lima sen.
Kami bergegas ke rumah berikutnya. Dua cewek berumur tujuh atau delapan tahun menyambut kami di pintu. "Kostum kalian bagus sekali," kata salah satu dari mereka kepada Shane dan Shana. Mereka membagi-bagikan cokelat M&M.
"Wah, ini baru asyik!" kata Lee ketika kami bergegas ke rumah sebelah. Semua rumah di sini berdekatan," Tabby menambahkan. "Kita bisa mendatangi seratus rumah dalam waktu singkat!"
"Seharusnya dari dulu kita sudah kemari," Walker menimpali.
"Trick or treat!" kami berseru ketika menekan bel pintu di rumah berikutnya.
Seorang cowok berambut pirang gondrong, dengan anting di sebelah telinga, membuka pintu. Ia tertawa ketika melihat kostum kami. "Wow, keren," ia bergumam. Kemudian ia memasukkan beberapa bungkus permen ke kantong-kantong kami.
Kami pindah ke rumah sebelah. Terus ke rumah-rumah berikutnya.
Kami mendatangi setiap rumah di blok berikut. Kemudian kami menyusuri dua blok lagi. Rumah-rumah kecil itu seakan-akan tak ada habisnya.
Kantong permenku sudah hampir penuh. Kami berhenti di pojok jalan karena tali sepatu Walker terlepas. Ia membungkuk untuk mengikatnya, dan kami memanfaatkan kesempatan itu untuk mengatur napas.
"Cepat!" desak salah satu kepala labu. Lidah api tampak menyembur-nyembur dari lubang matanya.
"Ya, cepat," seru kepala labu yang lain. "Jangan buang-buang waktu."
"Sabar, dong," Walker bergumam. "Tali sepatuku harus diikat dulu."
Sementara ia mengotak-atik tali sepatu, kedua kepala labu bergoyang-goyang seakan-akan sudah tak sabar untuk jalan lagi.
Akhirnya Walker kembali berdiri tegak dan meraih kantong permennya. Kedua kepala labu sudah berjalan ke blok berikut.
"Aku sudah mulai capek," aku mendengar Lee berbisik kepada Tabby. "Jam berapa sih sekarang?"
"Kantongku sudah hampir penuh," sahut Tabby. Sambil mengerang ia memindahkan kantong yang berat itu dari tangan kanan ke tangan kiri.
"Cepat," salah satu kepala labu kembali mendesak. "Masih banyak rumah yang harus kita datangi."
"Masih banyak rumah," rekannya mengulangi.
Kami menyusuri dua blok lagi. Kami mendatangi semua rumah di kedua sisi jalan. Kira-kira dua puluh rumah.
Kantong permenku sudah penuh. Aku terpaksa membawanya dengan kedua tangan.
Tali sepatu Walker terlepas lagi. Ketika ia membungkuk untuk mengikatnya, tali sepatu itu malah putus. "Aduh, brengsek," gerutunya.
"Cepat," salah satu kepala labu kembali memaksa. "Masih banyak rumah."
"Aku mulai capek," Tabby mengeluh, kali ini cukup keras untuk didengar oleh semuanya.
"Aku juga," Lee menambahkan. "Dan kantong permenku sudah berat."
"Tali sepatu sialan," Walker memaki. Ia masih membungkuk.
"Malam memang sudah larut," kataku sambil memandang berkeliling. "Lagi pula sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Anak-anak lain sudah pulang semua."
"Masih banyak rumah," salah satu kepala labu berbisik.
"Cepat. Masih banyak rumah," yang satu lagi menimpali. Lidah api di dalam kepalanya tampak menari-nari.
"Tapi kami mau berhenti!" seru Lee.
"Ya, kami sudah capek," Tabby menambahkan. Suaranya melengking.
"Kalian tidak bisa berhenti!" sahut si kepala labu.
"Hah?" Lee tercengang.
"Ayo, terus! Kalian tidak bisa berhenti!" kepala labu itu berkeras.
Tiba-tiba keduanya terangkat dari tanah, lalu mengambang, melayang-layang di atas kami. Api di balik lubang mata mereka berkobar-kobar.
"Kalian tidak bisa berhenti! Untuk SELAMA-LAMANYA!"
    
    
   
    
    
    
    
    
Chapter 19

"HA-HA. Lucu sekali," Tabby berkata dengan gayanya yang sok tahu. Ia menggeleng-gelengkan kepala.
Tapi aku melihat Lee melangkah mundur ketakutan. Lututnya seakan-akan mendadak kehilangan tenaga, dan kantong permennya nyaris terlepas dari tangannya.
"Satu blok lagi," kepala labu pertama berkeras.
"Satu blok. Lalu satu lagi," kepala labu kedua menimpali.
"Hei! Tunggu dulu!" Tabby memprotes. "Kalian jangan seenaknya mengatur kami. Aku mau pulang."
Ia berbalik dan hendak pergi. Tapi kedua kepala labu cepat-cepat menghalangi jalannya.
"Jangan ganggu aku!" jerit Tabby.
Ia mengelak ke kanan. Tapi kedua makhluk labu terus mengikutinya. Senyum mereka yang menyala-nyala tampak bertambah lebar. Bertambah terang.
Keduanya mulai bergerak mengitari kami, semakin lama semakin cepat—sampai kami merasa seolah dikelilingi api.
Kami seakan-akan dikepung dinding api!
"Kalian harus patuh!" suara parau itu memerintah.
Kami digiring lidah api dari belakang. Kami dipaksa maju.
Kami tak punya pilihan selain menurut. Kami telah menjadi tawanan. Tawanan makhluk-makhluk labu yang menyemburkan api.
Seorang pria tua berdiri di pintu rumah yang kami datangi. Ia meringis ketika kami naik ke teras. "Wah, bukankah sekarang sudah kemalaman untuk berkeliling?" ia bertanya.
"Memang," sahutku.
Ia memasukkan beberapa bungkus Chuckle ke kantong-kantong permen kami.
"Cepat," desak salah satu kepala labu sementara kami melintasi rumput yang basah untuk menuju ke rumah berikutnya. "Cepat!" Kantong permen Lee sudah begitu berat, sehingga ia terpaksa menyeretnya.
Aku membawa kantong permenku dengan kedua tangan. Tabby terus menggerutu sambil geleng-geleng kepala.
Kami mendatangi semua rumah di blok itu. Aku tidak melihat anak-anak lain. Tak ada mobil yang lewat. Lampu-lampu di beberapa rumah sudah mulai dipadamkan.
"Cepat!" salah satu kepala labu mendesak.
"Masih banyak rumah. Masih banyak blok."
"Aku tidak mau!" seru Lee.
"Aku tidak mau!" Tabby mengulangi. Ia pura-pura galak. Tapi suaranya terdengar gemetar.
Sekali lagi kedua kepala labu melayang di atas kami. Mereka menatap kami dengan mata menyala-nyala.
"Cepat. Kalian tidak bisa berhenti sekarang! Tidak BISA!"
"Tapi sekarang sudah terlalu malam!" aku memprotes.
"Dan sepatuku terus-menerus copot," Walker menimpali.
"Kami sudah capek keliling tanpa henti," keluh Tabby.
"Kalian tidak bisa berhenti sekarang! Cepat jalan!"
"Masih banyak rumah. Ini daerah PALING HEBAT!"
"Enak saja!" Tabby dan Lee menyahut berbarengan. Mereka mulai berteriak-teriak. "Pokoknya tidak bisa! Tidak bisa! Tidak bisa!"
"Kantong-kantong permen kami sudah penuh," ujarku.
"Kantongku malah sudah mulai robek," Walker mengeluh.
"Tidak bisa! Tidak bisa!" Tabby dan Lee berseru.
Kedua Jack-o'-lantern kembali mengitari kami, semakin lama semakin cepat, sehingga kami kembali dikelilingi dinding api.
"Kalian tidak bisa berhenti!" seru salah satu dari mereka.
"Kalian harus keliling terus!"
Mereka bergerak mendekat. Saking dekatnya, aku bisa merasakan sengatan panas yang memancar dari lidah api.
Dan sambil berputar, keduanya mulai mendesis-desis—bagaikan ular yang siap memagut.
Bunyi mendesis itu bertambah keras—sampai kami seakan-akan dikepung ular!
Kantong permenku terlepas dari genggamanku.
"Berhenti...!" aku membentak mereka. "Berhenti! Kalian bukan Shane dan Shana!"
Lidah api menyembur-nyembur dari mata mereka. Bunyi mendesis yang mengelilingi kami bertambah keras.
"Kalian bukan Shane dan Shana!" aku memekik. "Siapa kalian?"
    
    
    
    
    

    
    
Chapter 20
    
MEREKA berputar semakin pelan, dan akhirnya berhenti sama sekali. Lidah api menjulur-julur dari mulut mereka yang menyeringai.
Teriakan mereka yang melengking memantul pada pohon-pohon yang gersang, dan membelah keheningan malam.
"Siapa kalian?" aku kembali bertanya. Suaraku bergetar.
Seluruh tubuhku gemetaran. Tubuhku serasa dirasuki dinginnya malam.
"Siapa kalian? Apa yang kalian lakukan terhadap teman-temanku?"
Tak ada jawaban.
Aku berpaling pada Walker. Cahaya api tampak menari-nari di wajahnya. Meskipun mukanya tertutup make-up hitam, parasnya jelas tampak ketakutan.
Aku menelan ludah dan menoleh ke arah Tabby dan Lee.
Mereka tersenyum mengejek sambil geleng-geleng kepala.
"Jadi begini cara kalian membuat lelucon Halloween?" tanya Tabby sambil mencibir. "Ya, ampun. Kalian pikir Lee dan aku bakal tertipu?"
"Ooh—aku ngeri! Aku ngeri!" Lee pura-pura ketakutan. Ia sengaja menggoyangkan kedua lutut hingga saling membentur. "Lihat, nih—aku gemetaran."
Ia dan Tabby tertawa keras-keras.
"Kostumnya memang bagus. Dan permainan apinya juga boleh. Tapi kami tahu ini Shane dan Shana," ujar Lee. "Kalian tidak bisa menakut-nakuti kami, Drew."
"Tentu saja tidak bisa," Tabby menimpali. "Lihat saja...!"
Ia dan Lee mengangkat tangan. Masing-masing meraih satu kepala labu—dan menariknya keras-keras.
"Hei!"
Kedua kepala labu langsung copot dari pundak makhluk-makhluk itu.
Dan kemudian kami berempat menjerit sekeras-kerasnya—sebab kedua sosok berkostum itu ternyata tidak berkepala!
         
    
    
    
    
    
    
    
Chapter 21     

TERIAKAN kami yang melengking tinggi membelah kesunyian malam bagaikan raungan sirene.
Kepala labu di tangan Tabby terlepas dari pegangannya dan jatuh ke tanah. Lidah api berwarna jingga terang menyembur dari mata dan mulut kepala labu itu.
Kepala labu yang satu lagi masih dalam genggaman Lee. Tapi Lee juga langsung melepaskannya ketika mulutnya mulai bergerak-gerak.
Kedua kepala itu menyeringai lebar, menatap kami dari rerumputan.
"Ya ampun!" aku mengerang karena ngeri. Serta-merta aku mundur selangkah. Rasanya aku ingin minggat secepat-cepatnya dari sini.
Tapi aku tidak kuasa mengalihkan pandangan dari kedua kepala itu. Jantungku berdegup-degup dan kakiku mulai gemetaran.
Seseorang meraih lenganku.
"Walker!"
Ia berpegangan padaku. Tangannya sedingin es. Sementara tangannya yang satu lagi menunjuk kedua sosok tanpa kepala itu.
Kedua tubuh itu berdiri seperti patung, tak bergerak sedikit pun. Bahu tempat kepala mereka bertengger tadi tampak datar dan licin. Seakan-akan kedua kepala labu itu hanya diletakkan di situ. Tidak menyambung dengan tubuhnya.
Tabby dan Lee berdiri rapat di sampingku. Mahkota yang semula menghiasi rambut Lee telah hilang entah ke mana. Rambutnya pun acak-acakan, jatuh tergerai menutupi wajahnya.
Kantong permen Lee jatuh di rumput. Setumpuk permen berserakan di samping salah satu kepala labu.
Api di dalam kedua kepala itu berkobar-kobar dan menari-nari. Dan mulut keduanya mulai bergerak-gerak.
Seringai mereka bertambah lebar, sementara mata mereka yang berbentuk segitiga semakin sempit. "Hee hee heeeee."
Mereka terkekeh-kekeh. Bunyinya lebih mirip suara orang berdeham daripada tertawa.
"Hee hee heeeee."
"Ohhh!" aku mengerang. Di sampingku, Walker memekik tertahan.
Lee menelah ludah. Tabby berpegangan pada Lee. Ia menariknya mundur hingga akhirnya mereka berdiri di belakang Walker dan aku.
"Hee hee heeeee."
Kepala-kepala terpenggal itu tertawa bersamaan. Mata mereka memancarkan cahaya kerlap-kerlip api yang berkobar di dalam kepala mereka.
Tiba-tiba kedua tubuh tanpa kepala itu bergerak cepat. Keduanya mengulurkan tangan dan memungut kepala masing-masing dari rumput.
Semula aku menyangka mereka akan memasang kembali kepala-kepala itu. Tapi rupanya aku keliru. Makhluk-makhluk itu memegang kepala masing-masing di depan dada.
"Hee hee heeeee."
Mereka kembali tertawa. Mulut keduanya berkedut-kedut. Mata mereka menatap kami dengan pandangan kosong.
Aku meremas-remas lengan Walker. Tapi sepertinya ia tidak menyadarinya.
Aku melepaskan lengannya. Dan menarik napas dalam-dalam.
"Siapa kalian?" aku berseru pada kedua makhluk itu. Suaraku melengking nyaring. "Siapa kalian? Dan apa yang kalian inginkan?"
"Hee hee heeeee." Mereka hanya tertawa.
         

    
    
   
    
    
    
Chapter 22     

"SIAPA kalian?" aku bertanya sekali lagi. Aku terpaksa berseru kuat-kuat untuk mengalahkan tawa mereka yang parau. "Mana Shane dan Shana? Mana teman-teman kami?"
Lidah api menyembur dari mulut dan mata kedua kepala labu. Seringai mereka semakin lebar.
"Drew—kita harus kabur," Walker berbisik. "Mungkin kalau kita mendadak lari...."
Kami segera berbalik dan berlari. Tabby dan Lee menyusul dengan terseok-seok.
Kakiku terasa lemas seolah tak bertenaga. Aku yakin aku takkan sanggup berlari jauh. Jantungku berdegup-degup. Napasku tersengal-sengal.
"Lari!" teriak Walker sambil menarik lenganku. Napasnya juga terengah-engah. "Cepat, Drew!"
Tapi kami tidak berhasil lari jauh-jauh.
Kedua makhluk itu segera menyusul dan kembali berputar-putar mengelilingi kami sambil mendesis-desis. Kami terperangkap. Kami menjadi tawanan di tengah lingkaran api.
Kami tidak bisa melarikan diri. Kami tidak mungkin lolos.
Dengan putus asa aku memandang berkeliling.
Tak ada siapa-siapa. Tak ada yang bergerak. Tak ada mobil. Tak ada orang. Bahkan anjing atau kucing pun tidak kelihatan.
Kedua makhluk itu menghampiri kami. Mereka berdiri di hadapan kami sambil mengangkat kepala tinggi-tinggi.
"Masih banyak rumah. Masih banyak rumah," mereka berkata tanpa menggerakkan bibir. Keduanya menatap kami dengan mata menyala-nyala.
"Masih banyak rumah yang harus kita datangi. Masih banyak."
"Kalian tidak bisa berhenti. Kalian harus terus berkeliling!"
"Angkat kantong permen kalian. Ayo—cepat!" salah satu dari mereka menggeram. Kepala yang ada di tangan mereka menatap kami sambil menyeringai jahat.
"K-kami tidak mau berkeliling lagi!" Lee meratap sambil berpegangan pada Tabby.
"Kami mau pulang!" Tabby berseru.
"Masih banyak rumah yang harus kita datangi. Masih banyak. Masih banyak," kedua kepala labu menyahut berbarengan.
Kami didorong dan digiring maju.
Kami tak punya pilihan. Dengan letih kami memungut kantong permen masing-masing dari rumput.
Kedua makhluk itu berjalan di belakang kami. Tanpa henti mereka berbisik, "Masih banyak. Masih banyak."
Mereka menggiring kami ke rumah pertama di blok berikut. Mereka menggiring kami ke teras depan. Kemudian mereka bersembunyi di tempat gelap.
"B-berapa lama lagi kita harus berkeliling?" tanya Tabby.
Kedua kepala labu itu kembali menyeringai.
"Selama-lamanya!" sahut mereka.
    
    
    
    
    
    
    
Chapter 23     

SEORANG wanita membuka pintu dan memasukkan beberapa bungkus cokelat Hershey ke kantong-kantong kami. "Wah, malam-malam begini masih keliling juga," ia berkata. "Kalian tinggal di sekitar sini?"
"Tidak," jawabku. "Sebenarnya kami justru tidak tahu di mana kami berada. Kami belum pernah ke daerah sini, dan kami dipaksa berkeliling terus oleh dua makhluk labu tanpa kepala. Mereka bilang kami harus berkeliling untuk selama-lamanya. Tolonglah kami! Anda harus menolong kami!"
"Ha-ha! Kau lucu sekali," kata wanita itu sambil tertawa. "Rupanya kau pintar mengarang cerita."
Ia sudah keburu menutup pintu sebelum aku sempat menjelaskan lebih lanjut.
Di rumah berikut kami tak lagi berusaha minta tolong. Kami tahu takkan ada yang percaya.
"Kantong-kantong permen kalian sudah sangat penuh!" ujar wanita yang menemui kami. "Kalian pasti sudah keliling berjam-jam."
"K-kami suka sekali makan permen," jawab Walker.
Aku menoleh ke arah kedua kepala labu di belakang kami. Mereka melambai-lambaikan tangan tidak sabar. Mereka ingin kami segera pindah ke rumah berikut.
Kami mengucapkan terima kasih pada wanita itu, kemudian berjalan melintasi pekarangan depan. Saking beratnya, kami harus menyeret kantong-kantong permen kami di rumput.
Tabby menyusulku ketika kami menuju ke pekarangan sebelah.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" ia berbisik ke telingaku. "Bagaimana kita bisa lolos dari... monster-monster ini?"
Aku angkat bahu. Aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya.
"Aku takut," Tabby mengakui. "Mereka tidak akan memaksa kita keliling untuk selama-lamanya—ya, kan?"
"Aku tidak tahu," jawabku sambil menelan ludah.
Tampak jelas Tabby sudah mau menangis.
Lee berjalan dengan kepala tertunduk. Kantong permennya terseret-seret di belakangnya. Ia geleng-geleng kepala sambil bergumam.
Kami melangkah ke teras rumah berikut dan menekan pintu.
Seorang pria setengah baya dengan celana piama kuning terang membuka pintu. "Trick-or-treat!" kami berseru tanpa semangat.
Pria itu membagikan beberapa Tootsie Rolls kepada kami.
"Sudah larut malam," ia berkomentar. "Orangtua kalian tahu kalian masih berkeliaran di luar?"
Kami diam saja. Bahkan untuk berkata-kata pun kami tidak punya tenaga lagi.
Kami menuju ke rumah berikut. Lalu ke rumah berikutnya lagi.
Aku terus mencari-cari kesempatan untuk melarikan diri. Tapi kedua makhluk itu mengawasi kami dengan ketat. Mereka terus mengikuti kami, mengawasi dari tempat-tempat gelap. Mata mereka menyala merah, sedetik pun tak pernah beralih ke arah lain.
"Masih banyak rumah," kata mereka sambil memaksa kami melintasi jalan dan mendatangi deretan rumah di seberang. "Masih banyak rumah."
"Aku takut," Tabby berbisik dengan suara gemetar. "Lee juga. Kami benar-benar ngeri."
Aku hendak berkata aku pun tak kalah takutnya.
Tapi kemudian kami sama-sama menahan napas ketika melihat seseorang melangkah menyusuri jalanan.
Seorang pria berseragam biru!
Mula-mula aku menyangka orang itu polisi. Tapi ketika ia melintas di bawah lampu jalanan, kulihat ia mengenakan baju kerja berwarna biru. Ia juga memakai topi baseball biru. Sebelah tangannya membawa kotak makan siang hitam.
Ia pasti baru pulang kerja, kataku dalam hati. Orang itu berjalan dengan kepala menunduk sambil bersiul-siul. Tampaknya ia tidak melihat kami.
Tabby langsung bertindak. "Tolooong!" ia memekik. "Tolong, Pak! Tolong kami!"
Orang itu segera menoleh. Ia menatap kami sambil memicingkan mata.
Tabby berlari menghampirinya. Walker, Lee, dan aku menyusulnya sambil menyeret kantong permen masing-masing.
"Tolong, Pak! Tolong!" Tabby memohon dengan suara melengking. "Selamatkan kami!"
Terengah-engah kami berempat menyeberang jalan. Kami segera mengerumuni orang itu, yang tampak heran. Ia menatap kami dengan mata terpicing sambil menggaruk-garuk rambutnya yang cokelat keriting.
"Ada apa? Kalian tersesat?" ia bertanya.
"Ada monster!" Lee langsung berseru. "Monster Jack-o-lantern tanpa kepala! Kami ditawan oleh mereka! Kami dipaksa berkeliling dari rumah ke rumah!"
Orang itu mulai tertawa.
"K-kami tidak mengada-ada!" Tabby berkeras. "Kami serius. Anda harus percaya! Anda harus menolong kami!"
"Cepat tolong kami, Pak!" Lee memekik.
Orang itu menggaruk-garuk kepala. Ia menatap kami dengan kening berkerut.
"Cepat, Pak! Cepat!" Lee mendesak.
Aku menatap pria di hadapan kami. Apakah ia akan membantu kami?
         
==============================
Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================   
    
Chapter 24

"ANDA harus menolong kami!" Lee mendesak.
"Baiklah, saya akan menolong kalian," kata pria itu seraya geleng-geleng kepala. "Mana monsternya?"
"Di sana!" aku berseru.
Kami semua menoleh ke arah pekarangan depan. Tak ada siapa-siapa. Kedua kepala labu itu telah hilang.
Lenyap.
Tabby memekik kaget.
Lee tercengang.
"Ke mana mereka?" Walker bergumam.
"Tadi mereka masih di situ!" Tabby berkeras. "Dua-duanya. Sambil memegang kepala masing-masing! Sungguh!"
Pria itu menghela napas. "Bercanda di malam Halloween memang asyik," ia berkata. "Tapi saya baru pulang kerja, dan saya capek sekali."
Ia memindahkan kotak makan siang ke tangannya yang satu lagi. Lalu ia melangkah menuju ke salah satu rumah, dan masuk ke dalamnya lewat pintu belakang.
"Ayo, kita lari!" teriak Lee.
Tapi sebelum kami sempat bergerak, kedua kepala labu sudah muncul dari balik semak-semak. Api tampak berkobar-kobar di dalam kedua kepala itu. Mulut mereka yang lebar meringis geram.
"Masih banyak rumah," mereka berkata dengan suara parau.
"Masih banyak rumah. Kalian tidak boleh berhenti."
"Tapi kami sudah capek!" Tabby memprotes. Suaranya bergetar. Kulihat matanya berkaca-kaca.
"Biarkan kami pulang!" Lee memohon.
"Masih banyak rumah! Masih banyak!"
"Kalian tidak bisa berhenti! SAMPAI KAPAN PUN!"
"Aku tidak bisa jalan!" Lee berseru. "Kantong permenku sudah penuh. Lihat, nih!" Ia memperlihatkan kantong permennya yang sudah menggembung kepada kedua kepala labu. Beberapa batang cokelat jatuh ke rumput.
"Kantongku juga sudah penuh," kata Walker. "Sudah tidak ada lagi yang bisa masuk!"
"Kami harus pulang!" Tabby memekik. "Kantong-kantong kami sudah penuh!"
"Itu soal gampang," ujar salah satu kepala labu.
"Soal gampang?" Tabby meratap. "Apanya yang gampang?"
"Sekarang kalian mulai makan," perintah si kepala labu.
"Hah?" Kami semua melongo mendengarnya.
"Makan," si kepala labu berkeras. "Makan!"
"Hei—enak saja!" Lee memprotes. "Kami tidak mau berdiri di sini dan..."
Makhluk-makhluk itu mulai melayang. Lidah api kuning terang menyembur dari kedua matanya. Angin yang mengembus dari mulut mereka yang menyeringai lebar terasa panas di wajahku.
Kami semua tahu apa yang akan terjadi kalau kami menolak perintah mereka. Kami bakal dikepung dinding api.
Lee mengambil sebatang cokelat dari kantong permennya. Dengan tangan gemetar ia membuka bungkusnya. Lalu digigitnya cokelat itu.
Kami semua mulai makan permen dan cokelat. Kami tidak punya pilihan.
Aku menggigit cokelat Hershey dan mulai mengunyah. Aku tak sempat mencicipi rasanya. Segumpal cokelat melekat di gigiku. Tapi aku terus menggigit dan mengunyah.
"Lebih cepat! Lebih cepat!" si kepala labu memerintahkan.
"J-jangan..." Tabby memohon dengan mulut penuh permen. "Kami tidak bisa..."
"Cepat! Makan! Makan!"
Aku memasukkan sekantong popcorn ke dalam mulut dan berjuang untuk mengunyahnya. Aku melihat Walker menggeledah kantong permennya untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan dengan cepat.
"Cepat! Makan!" kedua kepala labu mendesak sambil melayang-layang di atas kami. "Makan! Makan!"
Lee sudah menghabiskan empat batang cokelat. Ia meraih sebatang Milky Way dan mulai membuka kertas pembungkusnya.
"A-aku mau muntah!" ujar Tabby.
"Cepat! Cepat!"
"Aku tidak bisa. Sungguh. Perutku mual!" seru Tabby.
"Ayo, cepat!"
Lee mulai terbatuk-batuk. Sepotong permen berwarna pink melejit dari mulutnya. Tabby menepuk-nepuk punggungnya sampai batuknya mereda.
"Lagi! Tambah lagi!" kedua kepala labu kembali berteriak.
"A-aku tidak bisa!" Lee berseru parau.
Kedua makhluk itu melayang-layang di atas Lee. Mata mereka memancarkan api.
Lee meraih cokelat Crunch, membuka kertas pembungkusnya, dan menggigitnya.
Kami berempat berkerumun di trotoar sambil makan permen dan cokelat. Kami terus mengunyah secepat mungkin, menelan, dan mulai mengunyah lagi.
Kami gemetaran. Ketakutan. Dan mual.
Tapi ternyata semua itu belum seberapa. Ternyata masih ada kejutan yang lebih mengerikan lagi.
    






Chapter 25

"AKU... tidak... bisa... makan... apa-apa lagi," Tabby berkata dengan susah-payah.
Sudah beberapa menit kami menggigit dan mengunyah tanpa henti.
Mulut Tabby berlepotan cokelat. Bahkan ada cokelat yang tersangkut di rambutnya yang pirang.
Lee membungkuk di rumput. Ia memegang perutnya sambil mengerang-erang. "Oh, perutku tidak keruan rasanya," gumamnya. Ia bersendawa keras-keras. Dan kembali mengerang.
"Habis ini aku tidak mau melihat permen lagi," bisik Walker.
Aku hendak menyahut. Tapi mulutku penuh.
"Masih banyak rumah!" ujar salah satu kepala labu. "Masih banyak rumah! Kalian tidak bisa berhenti!"
"Jangan begitu, dong!" Tabby memohon.
Lee masih membungkuk. Sekali lagi ia bersendawa keras-keras.
"Sekarang sudah hampir tengah malam!" Tabby memprotes. "Kami harus pulang."
"Masih banyak rumah yang harus didatangi," salah satu kepala labu berkata padanya sambil memicingkan matanya yang menyala-nyala. "Kalian harus terus berkeliling. Untuk selama-lamanya!"
"Tapi kami sudah tidak kuat!" Lee mengerang sambil memegang perutnya. "Kami sudah tidak sanggup lagi berkeliling!"
"Lagi pula semua orang sudah tidur," ujar Walker. "Takkan ada yang membukakan pintu malam-malam begini."
"Daerah ini BERBEDA!" balas si kepala labu.
"Di daerah INI tak ada masalah!" makhluk yang satu lagi menimpali. "Di daerah ini, kalian bisa keliling SELAMA-LAMANYA!"
"Tapi—tapi—tapi..." aku tergagap.
Aku tahu tak ada gunanya membantah. Kedua makhluk itu akan memaksa kami terus berkeliling. Mereka takkan peduli pada protes kami. Dan mereka takkan membiarkan kami pulang.
"Masih banyak rumah! Ayo, keliling lagi! Keliling selama-lamanya!"
Tabby membantu Lee berdiri. Ia memungut kantong permen Lee dan menyerahkannya padanya. Ia menepis rambut yang menutupi wajahnya, dan meraih kantong permennya sendiri.
Berempat kami melintasi jalan sambil menyeret kantong-kantong permen yang sudah penuh sesak. Udara malam terasa dingin dan lembap. Angin kencang menggoyang pepohonan dan membuat daun-daun mati beterbangan di sekitar kaki kami.
"Orangtua kita pasti sangat cemas," Lee bergumam. "Sekarang sudah larut malam."
"Mereka memang harus cemas!" komentar Tabby dengan suara gemetar. "Bisa jadi kita takkan pernah bertemu lagi dengan mereka."
Lampu teras di rumah pertama yang ada di seberang jalan masih menyala. Kedua kepala labu memaksa kami melangkah ke teras.
"Sudah terlalu malam untuk minta permen," Lee memprotes.
Tapi kami tak punya pilihan. Aku menekan bel pintu. Kami menunggu. Tubuh kami menggigil. Perutku terasa tidak keruan akibat terlalu banyak dijejali permen dan cokelat.
Perlahan-lahan pintu depan membuka.
Dan kami semua memekik kaget.
    
    
    






Chapter 26

"HAAAH!" Walker menjerit tertahan. Lee langsung melompat dari teras.
Aku menatap makhluk yang berdiri di bawah lampu teras.
Seorang wanita. Seorang wanita dengan kepala Jack-o'-lantern yang menyeringai lebar.
"Trick or treat?" ia bertanya sambil mengembangkan senyum mengerikan. Aku melihat lidah api berwarna jingga menari-nari di dalam kepalanya.
"Uh—uh—uh..." Walker melompat dari teras dan jatuh menabrak Lee.
Aku menatap kepala labu yang menyeringai itu.
Ini benar-benar mimpi buruk! kataku dalam hati. Mimpi buruk yang jadi kenyataan.
Wanita itu memasukkan permen ke kantong-kantong kami. Tapi aku tidak memperhatikan permen apa. Aku tidak sanggup mengalihkan mata dari kepala labunya.
"Apakah Anda...?" aku bertanya.
Tapi ia keburu menutup pintu sebelum aku sempat menyelesaikan pertanyaanku.
"Ayo, masih banyak rumah!" kedua kepala labu mendesak. "Keliling lagi!"
Kami menuju ke rumah berikut. Pintu depannya langsung terbuka ketika kami naik ke teras.
Dan kami kembali berhadapan dengan makhluk berkepala labu.
Makhluk yang satu ini mengenakan jeans dan T-shirt lengan panjang berwarna merah tua. Api mendesis dan meretih di balik lubang mata dan mulutnya. Dua gigi besar dan miring terukir di mulutnya yang lebar—satu di atas, satu di bawah—sehingga tampangnya berkesan konyol.
Tapi aku dan teman-temanku terlalu ketakutan hingga tak bisa tertawa.
Di rumah berikutnya, kami disambut sepasang makhluk Jack-o'-lantern. Kemudian kami menyeberangi jalan dan menemukan makhluk kepala labu lain telah menunggu di rumah berikut.
Di manakah kami? aku bertanya-tanya.
Tempat ini benar-benar aneh!
Kedua kepala labu menggiring kami ke blok berikut. Semua rumah di sana dihuni makhluk-makhluk Jack-o'-lantern.
Sampai di ujung blok, Tabby menurunkan kantong permen dan berpaling kepada kedua kepala labu. "Kita harus berhenti!" ia memohon. "Aku sudah tidak kuat lagi."
"Kami sudah tak sanggup lagi berkeliling dari rumah ke rumah!" Lee berseru dengan putus asa. "A-aku capek sekali. Dan perutku mual."
"Kita berhenti saja, ya?" Walker ikut memohon.
"Aku benar-benar sudah tidak kuat," kata Tabby sambil geleng-geleng kepala. "Aku takut sekali. Makhluk-makhluk itu... ada di setiap rumah..." Ia terisak, lalu terdiam.
Lee menyilangkan tangan di depan dada. "Aku tidak mau jalan lagi," katanya. "Aku tidak peduli kalian mau berbuat apa. Pokoknya, aku takkan bergerak."
"Aku juga," Tabby menimpali. Ia maju selangkah dan berdiri di samping Lee.
Kedua kepala labu tidak menyahut. Tanpa berkata apa-apa, keduanya mulai melayang-layang di udara.
Aku mundur selangkah ketika makhluk-makhluk itu membelalakkan mata dan semakin lebar meringis. Lidah api jingga terang menyambar-nyambar dari lubang mata mereka.
Seringai mereka bertambah lebar. Dan kemudian keduanya memekik dengan nada melengking tinggi. Suara itu membelah keheningan malam, naik-turun bagaikan bunyi sirene polisi.
Kedua kepala labu itu mendongak, sehingga lidah api dari mata mereka memancar tegak lurus ke langit. Teriakan mereka semakin keras. Semakin nyaring. Sampai aku terpaksa menutup telinga dengan tangan.
Aku melihat kilatan cahaya. Aku menoleh dan melihat sebuah kepala labu melayang ke arah kami dari seberang jalan.
"Ohhh!" aku memekik ketika dua makhluk kepala labu lain bergegas keluar dari rumah masing-masing. Menyusul dua lagi. Dan satu lagi. Dan satu lagi. Pintu-pintu rumah di sepanjang blok membuka. Makhluk-makhluk kepala labu melayang keluar.
Melayang ke arah kami. Sambil mendesis-desis dan meraung-raung.
Mata dan mulut mereka menyemburkan api dan memancarkan cahaya jingga ke langit malam. Mereka melayang-layang di jalanan, melintasi pekarangan-pekarangan gelap, meraung-raung bagaikan sirene, mendesis-desis bagaikan ular.
Semakin dekat. Semakin dekat:
Belasan, puluhan kepala labu.
Walker, Tabby, Lee, dan aku berdesak-desakan di tengah jalan sementara makhluk-makhluk itu menghampiri kami.
Dalam sekejap kami sudah terkepung. Kami dikelilingi sosok-sosok berjubah gelap dengan kepala Jack-o'-lantern yang menyeringai lebar.
Makhluk-makhluk itu berputar-putar di sekitar kami. Kepala mereka berayun-ayun miring, seolah mau copot. Perlahan-lahan mereka bergerak mengelilingi kami. Lalu mereka berteriak dengan suara parau: "Trick-or-treat! Trick-or-treat! Trick-or-treat!"
"Mau apa mereka?" seru Tabby. "Apa yang akan mereka lakukan?"
Aku tidak sempat menyahut.
Empat makhluk melangkah ke tengah-tengah lingkaran. Dan ketika aku melihat apa yang mereka bawa, aku langsung menjerit.
    
         
    
    
    
    
    
    
Chapter 27

"TRICK-OR-TREAT! Trick-or-treat! Trick-or-treat!" Jeritanku menenggelamkan sorak-sorai mereka.
Dan ketika keempat makhluk itu melangkah maju, yang lainnya segera diam. Kepala mereka tampak berayun-ayun. Seringai mereka bertambah lebar.
Mereka mengangkat tangan setinggi pinggang. Dan masing-masing membawa sebuah kepala labu.
Empat kepala labu tambahan!
"Oh, ya ampun!" Lee berseru ketika melihat kepala-kepala itu.
Tabby cepat-cepat meraih tangan Lee. Ia tampak sangat ketakutan. "Mau apa mereka dengan kepala-kepala itu?"
Lidah api kuning menyembur dari lubang mata dan mulut keempat kepala tambahan.
"Ini untuk kalian!" salah satu makhluk labu mengumumkan. Suaranya mirip bunyi kerikil tajam bergesekan.
"Hah!" aku berseru kaget.
Aku menatap keempat kepala itu. Aku memperhatikan mata mereka yang menyala-nyala dan senyum mereka yang mengerikan.
"Ini untuk kalian," ulang si kepala labu sambil melangkah mendekat. "Untuk mengganti kepala kalian yang lama!"
"Tidak bisa! Kalian tidak boleh berbuat begitu! Tidak boleh!" teriak Tabby. "Kalian..."
Jeritannya terputus ketika salah satu makhluk mengangkat kepala labu ke atas Tabby. Bagian bawah kepala itu berlubang. Serta-merta makhluk itu memasang kepala labu tersebut sehingga menutupi kepala Tabby yang asli.
Lee berusaha kabur.
Tapi salah satu makhluk cepat-cepat menghalangi jalannya—dan mengangkat kepala labu itu tinggi-tinggi. Dengan segera kepala labu itu terpasang menutupi kepala Lee. Ia mengalami nasib yang sama dengan Tabby.
Sambil berusaha melepaskan kepala mereka yang baru, Tabby dan Lee berlari menyusuri jalan. Mereka berlari tunggang-langgang seraya menjerit-jerit dalam kegelapan malam.
Dan kemudian makhluk-makhluk itu berpaling pada Walker dan aku. Mereka mengangkat kedua kepala labu yang masih tersisa tinggi-tinggi.
"Jangan...!" aku memohon. "Jangan!"
    
==============================
Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================
         
Chapter 28

"JANGAN...!" aku memekik. "Aku tidak mau punya kepala labu!"
"Jangan...!" Walker ikut-ikutan memekik.
Dan kemudian kami sama-sama tertawa terbahak-bahak.
Kedua makhluk itu menurunkan kepala labu yang mereka bawa.
Setelah itu kepala labu mereka sendiri mulai berubah. Api di dalamnya padam perlahan-lahan. Dan kepala mereka mulai mengerut.
Dan berubah bentuk.
Beberapa detik kemudian, kepala labu itu berubah menjadi kepala Shane dan Shana.
Dan kami berempat tertawa terbahak-bahak. Kami berpelukan dan berputar-putar. Kami menari-nari seperti kesurupan di tengah jalan. Kami menengadah dan tertawa ke arah bulan dan bintang-bintang. Kami tertawa sampai perut kami terasa kaku.
"Kita berhasil!" aku berseru ketika kami akhirnya berhenti tertawa. "Kita berhasil! Kali ini kita berhasil membuat Tabby dan Lee ketakutan setengah mati!"
"Mereka bakal ketakutan seumur hidup!" Walker menimpali. Ia menepuk punggung Shane. Kemudian ia kembali menari-nari sambil melambai-lambaikan tangan di atas kepala.
"Kita berhasil! Kita berhasil!" aku berseru-seru gembira. "Mereka benar-benar ketakutan!"
"Wah, kejadian tadi asyik sekalil" ujar Walker. "Dan begitu gampang pula."
Aku menghampiri Shane dan Shana dan memeluk keduanya.
"Ternyata ada untungnya juga punya teman makhluk asing dari planet lain!"
         
     
    
    
    
    
    
    
Chapter 29

"Ssst! Jangan keras-keras!" Shane mewanti-wanti sambil merendahkan suara. Dengan gugup ia memandang berkeliling.
"Jangan sampai ada orang lain tahu bahwa kami bukan penghuni bumi," ujar Shana.
"Aku tahu, aku tahu," sahutku. "Kan justru karena itu sebelumnya kami tidak mau menggunakan kekuatan kalian untuk menakut-nakuti Tabby dan Lee."
"Tapi tahun ini kami sudah hampir putus asa!" kata Walker. "Jadi, kami terpaksa meminta bantuan kalian."
"Kita harus berhati-hati," ujar Shana.
Shane bangkit dan berpaling kepada semua makhluk kepala labu yang masih mengelilingi kami.
"Terima kasih atas bantuan kalian, saudara-saudaraku!" seru Shane pada mereka. "Sebaiknya kalian cepat-cepat pulang sebelum ada yang tahu bahwa daerah ini telah kita ambil alih!"
Kepala-kepala labu itu melambaikan tangan. Sambil tertawa mereka semua segera kembali ke rumah masing-masing. Beberapa detik kemudian jalanan telah kembali lengang. Yang tinggal hanya kami berempat.
Kami melangkah pulang, berjalan di tengah jalan. Walker dan aku menyeret kantong permen kami yang penuh dan berat.
Walker menoleh ke arah Shane dan Shana, lalu mengembangkan senyum. "Kira-kira kapan Tabby dan Lee sadar bahwa mereka bisa mencopot kepala labu itu dengan mudah?" ia bertanya.
"Bisa jadi mereka takkan pernah tahu!" sahut Shana.
Kami semua langsung tertawa lagi.
Kami terus tertawa sampai kami tiba di pekarangan rumahku.
"Sekali lagi terima kasih," aku berkata kepada Shane dan Shana. "Kalian benar-benar hebat tadi."
"Kalian superhebat! Benar-benar luar biasa!" seru Walker. "Aku sendiri sempat ngeri tadi! Padahal aku tahu semuanya hanya sandiwara!"
"Eh, kalian tahu tidak, apa yang paling asyik kalau punya teman makhluk asing dari planet lain?" tanyaku. "Kalian berdua tidak makan permen."
"Benar," sahut Shane dan Shana.
"Berarti semua permen ini untuk Walker dan aku!" aku berseru sambil tertawa gembira.
Tiba-tiba sesuatu terlintas dalam pikiranku. "Omong-omong, aku belum pernah melihat kalian makan," kataku kepada kedua makhluk planet lain itu. "Apa sih makanan kalian?"
Shana mengulurkan tangan dan mencubit lenganku. "Kau masih terlalu kurus, Drew," sahutnya. "Kau akan tahu apa makanan kami kalau kau sudah bertambah gendut."
"Yeah," Shane menimpali. "Penghuni planet kami hanya makan orang dewasa yang bertubuh gendut. Jadi, untuk sementara kau belum perlu kuatir."
Aku tercengang. "Hei—kalian cuma bercanda, kan?" tanyaku.
"Shane? Shana? Kalian tidak serius—ya, kan? Ini cuma lelucon. Ya, kan? Ya, kan?"


END 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar